Pemasar Harus Punya Market Vision

Banyak merek gagal meraih pasar lantaran kesalahan produknya. Karena konsumen tidak melihat benefitnya penting.

Sehebat apa pun sebuah promosi, jika produknya tidak mampu memberikan benefit kepada konsumen, jangan harap bisa langgeng. Mau contoh? Lihat saja Tara Nasiku. Ketika diluncurkan, merek ini langsung menempati benak konsumen. Maklum saja, Unilever, pemilik brand Tara Nasiku langsung membombardir konsumen dengan iklan yang sangat deras di berbagai media. Sempat juga konsumen tergerak untuk mengkonsumsi produk ini. Tapi sayangnya tidak repeat. Merek ini pun hanya bisa hidup seumur jagung.

 

Sebenarnya, dilihat dari sisi pemasaran, produk yang dikeluarkan perusahan consumer goods terbesar di Indonesia itu punya keunikan. Produk ini muncul dengan kategori baru di tengah-tengah membludaknya produk makanan yang ada di pasar. Makanya, merek ini langsung dikenal oleh konsumen. Tapi, sayang, Tara Nasiku tidak disukai konsumen. Mau tidak mau, produk ini harus dinyatakan gagal.

 

Menurut pengamat pemasaran Darmadi Durianto, Tara Nasiku tidak mampu memberikan benefit sehingga tidak dianggap penting oleh konsumennya. Padahal, diakui Darmadi, Unilever sudah mengeluarkan bajet yang sangat besar untuk mendongkrak penjualannya. Konon, Unilever menghabiskan tidak kurang dari Rp 100 miliar untuk mengembangkan merek tersebut. Apa boleh buat, produk ini akhuirnya gagal karena konsumen tidak mengetahui apa menariknya produk ini dan tidak mengerti kegunaannya. ”Produk tersebut dirasakan tidak penting oleh konsumen. Jadi, walaupun dia (Unilever) sibuk mengkomunikasikan, itu tidak ada gunanya,” katanya.

 

Di pasaran, konsumen menilai taste Tara Nasiku tidak enak alias tidak sesuai harapan. Selain itu, cara mengkonsumsinya juga agak repot, tidak praktis. Kalau mau dibanding-bandingkan, konsumen barangkali lebih memilih nasi goreng di pinggir jalan—yang penyajiannya lebih praktis, lebih beraroma dan lebih fresh. Konsumen pun bisa tidak sembarangan memasak Tara Nasiku, yang harus menggunakan panci teflon. Maka, lengkaplah kesalahan produk Tara Nasiku. Dengan berbesar hati, Unilever harus mengakui kegagalan ini.

 

Kesalahan produk Tara Nasiku ini kemudian dicoba untuk diperbaiki oleh Garudafood yang mengeluarkan Nasi Instan. Sejumlah inovasi dilakukan. Garudafood memperbaikinya dari sisi rasa yang mengikuti selera mie instan. Pertimbangannya, rasa-rasa yang terdapat dalam mie instan sudah terbukti diterima oleh konsumen. Kemudian, dari sisi penyajian, Nasi Instan lebih praktis karena hanya membutuhkan waktu delapan menit dengan menuangkan air panas ke dalam kemasan produk. Sayangnya, produk ini masih belum menggigit di pasaran. Bukan karena produknya, melainkan dari sisi pricing-nya yang relatif mahal. Padahal, kalau mau mengikuti mie instan, barangkali harganya tidak harus mencapai Rp 4.000-an.

 

Selain Tara Nasiku, produk yang juga bisa dinyatakan gagal adalah Aqua Splash. Produk keluaran Danone ini nasibnya persis seperti Tara Nasiku. Mungkin saja, Aqua Splash merupakan inovasi yang canggih. Tapi konsumen punya logika sendiri. Sebagus apa pun sebuah produk, kalau konsumen tidak mau menerimanya, produk tersebut harus dikuburkan. Iklan merek ini memang sangat atraktif dan mampu merangsang konsumen untuk trial. Tapi pada akhirnya, konsumen bertanya-tanya: masa sih air mineral punya rasa. Merek ini pun tidak bertahan lama.

 

Konon, pihak Danone sudah melakukan riset sebelum meluncurkan produk ini. Lembaga riset yang ditunjuk tidak merekomendasikan produk ini dieksekusi ke pasar. Rupanya, pihak Danone ngotot. Pasar akhirnya membuktikan bahwa produk itu salah. Barangkali Danone mau meniru teh botol yang ketika mau diluncurkan oleh sebuah perusahaan multinasional, ternyata tidak direkomendasi oleh sebuah lembaga riset. Perusahaan tersebut akhirnya urung meluncurkan teh dalam botol. Namun Sosrodjojo punya pertimbangan lain. Di tangan Sosrodjojo, produk yang tidak direkomendasi ini ternyata berhasil.

 

Pertimbangannya yang muncul saat itu adalah kebiasaan konsumen minum teh dalam keadaan hangat di pagi dan sore hari. Masa iya, teh dalam botol bisa laku. Asal tahu saja, cara Sosro mengedukasi produk ini butuh waktu yang sangat panjang. Salah satu kunci suksesnya adalah menyediakan boks pendingin di setiap toko sehingga Teh Botol bisa dikonsumsi dalam keadaan dingin. Sebab, jika dikonsumsi dalam keadaan tidak dingin, rasanya tidak enak.

 

Banyak Faktor

Menurut Darmadi, banyak faktor yang bisa menyebabkan kegagalan sebuah produk. Selain beberapa alasan di atas, kegagalan bisa disebabkan karena faktor komunikasi yang kurang gencar. Kemudian, bisa juga karena faktor rumusan product positioning yang tidak jelas. Kalau sudah begini, iklan saja tidak cukup karena konsumen tidak mendapatkan “point” yang kuat dari produk tersebut. Pada akhirnya, produk itu sulit menempel di benak konsumen. Kesalahan yang lain adalah membuat produk, tetapi tidak tahu segmen dan target yang mau dibidiknya. Lantaran tidak tahu mau dijual ke siapa, variabel marketing mix-nya pun tidak tepat.

 

Dia menegaskan, untuk menghindari kesalahan, pemasar harus menguasai STP (segmentasi, targeting dan positioning) dan melakukan riset pasar. Tidak hanya itu, Darmadi juga menyarankan pemasar harus punya intuisi yang kuat. Barulah dari situ sebuah produk atau merek bisa dieksekusi ke pasar. Dengan cara ini, kemungkinan kesalahan sangat minim.

 

Pengamat pemasaran dari IBII ini mengatakan, produk sebagai salah satu bauran pemasaran sangat penting, tetapi pemasar harus market focus. Menurutnya, segala sesuatu bisa punya market. Pasar (dalam artian yang luas) hari ini bisa mendorong  customer untuk pindah, makanya harus selalu hati-hati. Darmadi juga menyarankan pemasar harus selalu menganalisis perkembangan pasar dan perkembangan pesaing. Tentu saja, produk yang ditawarkannya harus punya benefit di mata konsumennya. “Seorang pemasar harus punya market vision yang jelas, sehingga kalau melihat sesuatu itu harus melihat dengan ketajaman yang luar biasa. Itu adalah inti dari pemasaran sekarang. Kalau hanya rutinitas, saya rasa akan sulit untuk berhasil. Apalagi untuk menjadikan brand-nya sebagai market leader.”

 

Dalam kasus di atas, kesalahan bisa mengakibatkan menurunnya pangsa pasar. Softex misalnya, sempat kehilangan pangsa pasar yang sangat signifikan karena pemasarnya tidak fokus dan tidak punya market vision sehingga harus direbut oleh pesaingnya. Tapi kini Softex kembali merevitalisasi mereknya untuk merebut kembali kejayaan yang pernah diraihnya dulu.

Di sinilah menurut Darmadi pentingnya memahami karakteristik pasar, pesaing dan konsumennya. Bahkan, adakalanya sebelum meluncurkan sebuah produk harus dilakukan riset dulu. Jika hasilnya jelek, sebaiknya diurungkan. Sebab, banyak produk yang tidak diriset dahulu penjualannya tidak bagus, karena tidak diketahui bahwa  target market-nya tidak mendukung kehadiran produk tersebut. “Memastikan dengan riset itu jauh lebih baik,” katanya.

 

Hal-hal yang perlu diketahui sebelum meluncurkan produk adalah sikap konsumen terhadap produk tersebut, serta pemahamannya dan ekspektasi konsumen terhadap produk yang ditawarkan. “Analisis pasar itu penting. Sebesar apa peluang marketnya, dan perkembangannya bagimana, itu penting untuk dianalisis,” katanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.