Penjual Gitar Beromset Miliaran

Kegemarannya main gitar sejak kecil membawanya menjadi pebisnis gitar. Padahal, oleh orang tuanya ia diharapkan menjadi dokter. Bagaimana kisahnya?

“Antara percaya dan tidak percaya, kalau boleh saya ungkapkan rasanya menjadi finalis Dji Sam Soe Award. Apalagi, saat mengisi form pendaftaran yang dibawakan seorang konsumen saya hanya mengisi saja tanpa berharap apa pun. Bahkan, proses selanjutnya juga saya tidak tahu,” kata M. Satria Nugraha, pemilik CV Stranough Entrerprise, produsen gitar.

Pria berumur 27 tahun ini memang pantas meraih prestasi tersebut di atas. Di usianya yang tergolong muda ini, ia sudah mampu menjadi seorang entrepreneur handal. Sebuah pilihan yang ia ambil dengan tekad bulat di saat orang tuanya justru mendorong dia menjadi seorang dokter atau pegawai kantoran.

Bagaimana kisah awal pemuda yang akrab disapa Hanung ini menekuni usaha membuat gitar? Kisahnya bermula dari kesukaannya bermain gitar sejak kecil. Sejak SMP ia sudah menjadi gitaris dan bermain band. Hebatnya, hingga ia di bangku kuliah satu gitar pun tidak ia miliki. Ia berlatih dan main band bermodal gitar pinjaman dari temannya.

“Sampai kemudian saya pindah ke Bandung untuk kuliah dan menekuni musik. Anggapan saya kota ini gudangnya para pemusik. Nah, di sini saya susah mencari pinjaman gitar, soalnya teman-teman saya baru semua. Enggak enaklah kalau baru kenal langsung pinjam,” cerita pria yang berasal dari Semarang ini.

Akhirnya, ia putuskan untuk membeli gitar dengan dana mepet yang ia dapat dari orang tua. Namun, ketimbang membeli jadi dari toko, ia memilih memesan pada pembuat gitar. Informasi tempat membuat gitar ini ia peroleh dari almarhum Harry Roesli.

Sebelum datang ke pembuat gitar ini, Satria sudah membuat rancangan detil mengenai gitar yang ia harapkan. Mulai dari bahan kayu, proses pemotongan, assembly, finishing, hingga detil-detil part yang digunakan. Bentuknya sesuai dengan gitar idamannya yang seharga Rp 19 juta di toko.

Ternyata, proses pembuatan gitar itu tidak secepat yang ia harapkan, hampir mencapai satu tahun. Satria kemudian melihat bahwa ada permasalah di perajin gitar tersebut. Yakni soal manajemen  yang tidak jelas dan teratur.

“Makin lama, saya mulai berpikir bahwa mereka seharusnya bisa lebih baik dari ini, baik manajemen  sampai proses pengerjaan dan alat-alat industri. Sehingga, akhirnya saya memutuskan untuk menawarkan kepada mereka untuk bergabung dengan saya. Saya sebagai pemodal, marketing, pengatur keuangan dan manajemen, serta pembelian alat-alat, material dan lainnya. Mereka berdua hanya fokus di produksi. Ternyata mereka setuju,” terang Satria.

Padahal, ketika menawarkan kerja sama itu, Satria sungguh nekat. Sebab sedikit pun modal tidak ia miliki. Tentu saja, ia yang ganti dilanda kebingungan, tapi untungnya modal dari orang tua bisa didapatkan.

Memulai Pemasaran

Mulailah pada tahun 2004 gitar bermerek Stranough diproduksi. Pemilihan merek ini juga cukup pintar karena berbau asing, seperti Eropa Timur. Sebenarnya merek ini berasal dari nama Satria Nugraha yang digabung dan sedikit ‘dimodifikasi’.

“Nama itu menjadi keberuntungan buat saya. Terlebih, saya benar-benar single fighter dari pemilihan merek hingga pengembangan bisnis,” tambahnya.

Bermodal 7 juta rupiah ia menyewa tempat dan merubahnya menjadi showroom kecil dengan pengerjaan gitar di kebun belakang.  Di bulan-bulan  awal, hanya ada satu dua pemesan saja ditambah dengan beberapa servis. Praktis hanya cukup untuk membiayai kegiatan operasional saja.  Selama masa sepi tersebut Satria menggunakannya untuk belajar banyak dari internet mengenai seluk beluk gitar. Kala senggang ia membuat website gratisan.

“Beruntung saya punya rekanan yang ada di Belanda. Ia adalah perajin gitar dan juga founder salah satu produk gitar yang sekarang ini dibuat di tempat saya. Seorang yang sudah puluhan tahun berpengalaman, bahkan dia sempat menjadi guitar repairment-nya Jeff Beck dan Jimmy Page gitaris dari band legendaris Led Zeppelin,” terang Satria.

Selain melalui website, awal pemasaran juga dilakukan lewat direct selling. Tentu saja, target pertama adalah orang-orang dekat, seperti teman kuliah.  Satria menambahkan bahwa respon cukup baik. Terlebih, spesifikasi gitar yang ditawarkan masih standar, sehingga harga terjangkau bagi kocek mahasiswa atau kelas menengah bawah.

Kisaran harga yang dipatok kurang lebih Rp 2-3 juta. Tapi untuk pesanan harganya bisa mencapai 10 juta. Harga belum dipatok tinggi karena pertimbangan bahwa untuk saat ini Stranough masih menyasar di kelas menengah.

Kekuatan dari gitar ini memang pada sifatnya yang customized. Sehingga spesifikasi gitarnya seusai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Baik dari pemilihan model, warna, material sampai pada penggunaan parts.  Dengan begitu, bentuk dan suara yang dihasilkan  sesuai dengan apa yang dipesan konsumen.

Setelah berapa lama, pesanan mulai sering datang. Ada beberapa email yang masuk dari beberapa negara, salah satunya ada dari Belanda. Mereka mengirimkan detail spesiifkasinya dan meminta Satria membuat gitar itu dan mengirimkan hasilnya.  Gitar tersebut selesai dalam 3 minggu dan segera dikirim ke Belanda. Tidak sampai sebulan, kabar dari Belanda mengatakan bahwa mereka puas dan memesan 250 gitar lagi.

“Jujur saja, awalnya saya ragu. Sebab tidak kenal orang ini,  tidak tahu bagaimana mengirim barang ke luar negeri,  tidak tahu sistem pembayarannya. Bahkan, tidak jelas dibayar atau tidak. Tapi, waktu itu saya ikhlas, dengan pemikiran bahwa saya akan banyak belajar dari spesifikasi mereka, termasuk mengirimkannya ke luar negeri,” ungkap Satria.

100 Unit per bulan

Kini,  jangan kaget kalau sekarang ini omset per tahun Stranough Enterprise kurang lebih Rp 3 miliar,  dengan jumlah unit yang dijual lebih dari 100 unit per bulan. Pemasukan itu juga termasuk dari divisi-divisi  lain seperti divisi case (softcase dan hardcase), divisi parts, serta divisi lain yang juga mendongkrak total omset.

Pasar gitar ini mampu merambah ke luar negeri karena didukung oleh online marketing.  Negara yang menjadi pembeli rutin adalah Belanda. Sedangkan yang make to order atau berdasarkan pesanan antara lain dari Malaysia, Singapura, Australia, Jepang, dan lainnya.

“Sekarang dengan adanya tiket pesawat murah direct dari Malaysia ke Bandung, membuat konsumen dari Malaysia datang lansung  memesan gitar sembari jalan-jalan. Hampir setiap dua minggu sekali kami kedatangan tamu asing, baik yang akan memesan atau mengambil gitar pesanannya yang sudah dipesan via online sebelumnya,” tambahnya.

Pasar dalam negeri yang ramai atau banyak pembelinya adalah Jakarta. Disusul kemudian wilayah Kalimantan dan Sumatera. Cara pembelian tetap lewat internet karena Stranough hanya memiliki satu toko saja di Bandung. Bahkan sampai kini jalur distribusi belum dibuat. Semua masih ditangani secara online dan kirim langsung atau beli di toko.

Supaya mampu memenuhi pesanan, pada tahun 2008 Satria membeli mesin CNC (computer numerical control). Adanya mesin ini mampu membentuk kayu balok menjadi body gitar lengkap dengan lubang-lubangnya dalam waktu 15 menit. “Pembelian ini bagian dari inovasi dan idealisme. Karena mesin ini hanya dimiliki oleh industri gitar besar dengan ribuan karyawan. Padahal, pegawai saya baru 28 orang,” kata Satria, menutup kisahnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.