Perang Kopi di Layar Kaca

Perang_KopiKategori baru dan pemain baru di pasar kopi gencar beriklan di televisi. Hasilnya sudah kita lihat sendiri, banyak masyarakat yang mengonsumsi kopi putih sebagai kategori baru. Apa rahasianya sehingga mereka bisa berhasil?

Rudi, karyawan yang bekerja di perusahaan peternakan ini setahun belakangan punya kebiasaan minum white coffee kemasan sachet. Minimal sehari tiga kali ia minum kopi jenis ini.

Ia beralih minum white coffee dengan alasan kopi tidak menyisakan ampas dan kafeinnya tidak terlalu terasa sehingga nyaman di lambung. Ia tertarik minum white coffee setelah melihat iklannya di televisi.

Sama dengan Rudy, Imran, seorang desain grafis paruh waktu, awalnya tergoda dengan iklan salah satu merek white coffee setelah melihat iklannya di TV. Hingga saat ini ia rutin mengonsumsi white coffee karena menurut dia aroma kopinya lebih ringan (light).

Lain lagi pengakuan Yunizar, penyelaras gambar di salah satu TV swasta, yang minum white coffee sebagai selingan. Dia masih setia mengonsumsi kopi hitam karena menurutnya masih lebih enak.

Cerita di atas hanya satu contoh kekuatan sebuah TVC. Iklan yang ditayangkan berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang membuat penonton tergoda untuk mencobanya.

Jika produk dirasa cocok, bukan tidak mungkin mereka akan loyal dan meninggalkan produk sejenis yang sebelumnya dia konsumsi.

Di layar kaca, akhir-akhir ini kita menyaksikan perang iklan kopi. Hal ini diperkuat oleh hasil riset belanja iklan dari Nielsen Indonesia.

Menurut Nielsen Indonesia, selama semester pertama 2013 beberapa kategori produk menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan, di antaranya kopi dan teh yang tumbuh 136% menjadi Rp 1,6 triliun, mi instan yang naik 66% (Rp 1 triliun), dan Pemerintah dan Organisasi Politik yang naik 56% (Rp 2,7 triliun).

Sebanyak 98% dari total biaya iklan kopi dan teh dialokasikan di televisi, 37% di antaranya ditempatkan pada jam tayang utama antara pukul 18.00–22.00.

Dari sisi program televisi, 27% dari total belanja iklan kopi dan teh dialokasikan pada program series dan 22% pada program hiburan. Pertumbuhan belanja iklan kopi dan teh terbesar ditemukan pada program film, yang meningkat 17% dari tahun sebelumnya.

Masih menurut Nielsen Indonesia, beberapa merek kopi yang kontribusinya paling besar terhadap total belanja kategori tersebut di televisi di antaranya Top Coffee Rp 204 miliar, atau naik 190% dari tahun lalu, diikuti oleh dua merek yang baru beriklan pada tahun ini, yaitu kopi Ayam Merak sebesar Rp 161 miliar dan Kopiko White Coffee sebesar Rp 105 miliar.

Khusus iklan kopi, Yuswohady, pengamat pemasaran yang juga aktif di Komunitas Memberi, mengatakan semaraknya iklan kopi di media massa, terutama TV, dipicu oleh ditemukannya kategori baru white coffee oleh PT Javaprima Abadi-Semarang. Produsen ini berhasil menciptakan ceruk pasar baru di kategori kopi.

Kemunculan kategori/produk baru yang dalam tempo singkat meraih sukses di pasar rupanya mengusik pemain lama (incumbent)—Kapal Api—untuk melakukan aksi balasan di layar kaca.

“Kemudian, yang terjadi adalah jor-joran iklan. Lalu juga diikuti hadirnya pemain lain lagi (Top Coffee). Kondisi inilah yang terjadi saat ini. Pertempurannya menjadi seru,” jelas Yuswohadi.

Sudah menjadi rule of the games di industri consumer goods untuk menggunakan aktivitas above the line (ATL) dalam mengampanyekan produk mereka.

Yuswo pun menegaskan bahwa di industri consumer goods yang memiliki konsumen besar (jutaan) dan massal, beriklan di televisi menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari meskipun uang yang harus digelontorkan sangat besar.

“Kalau bermain di industri consumer goods tapi tidak memiliki dana besar untuk berkampanye di media TV, ya akan mati,” tandasnya.

Tidak sia-sia rupanya produsen kopi menganggarkan begitu banyak uang di televisi karena perang iklan ini membuat pasar kopi semakin membesar.

“Sebelumnya tidak terpikir rasa kopi yang enak di lambung dan perut bagi sebagian orang yang tidak suka kopi. Ini positifnya,” jelas Yuswo yang juga mengaku perutnya kurang cocok dengan kopi hitam.

Berhubung tarifnya mahal, hanya pemain besar seperti Unilever dan Wings Group yang kerap gencar beriklan di televisi. “Saya mengilustrasikannya seperti memakai narkoba. Ketika menggunakannya sekali, maka akan ketagihan dan terus-menerus,” jelasnya.

Namun, hasil yang diperoleh juga sebanding dengan biaya dikeluarkan atau bersifat high budget high impact. Hasil dari penjualan tersebut sebagian digunakan lagi untuk membiayai iklan selanjutnya. Ia mencontohkan Mie Sedaap yang mengambil strategi ini.

Jadi, seberapa kuat sebuah produk beriklan di televisi pada akhirnya akan ditentukan oleh sales. Jika tidak berhasil dalam menggaet omzet penjualan, maka iklan TVC akan berhenti dengan sendirinya.

Saat ini, dari sekian banyak iklan kopi yang muncul di TV, masing-masing memiliki kelebihan. Luwak White Koffie karena muncul pertama kali membuat masyarakat berpaling karena terobosan produk baru yang dilakukan.

Sementara itu, Kapal Api sebagai incumbent, menurut Yuswo, kurang agresif dalam meladeni penantang pasar. Namun demikian, yang cukup dahsyat adalah Wings Group yang menggandeng sosok sekaliber Iwan Fals yang memiliki fans/massa yang besar.

“Yang luar biasa menurut saya sikap jor-joran beriklan di berbagai media dan menggandeng Iwan Fals yang juga aktif mempromosikan produk Top Coffee. Jarang-jarang Iwan Fals melakukan hal tersebut,” ujarnya lagi.

Lantas, apa strategi perusahaan dalam beriklan agar tidak sekadar buang uang? Rumus baku iklan harus menarik perhatian, tetap berlaku. Tapi itu dulu, zaman ketika tahun 1990-an.

Sekarang jika ingin melihat efektivitas iklan, para pemilik merek harus mengintegrasikan kampanye/promosi produk secara horizontal di Facebook, Twitter, dan YouTube. Selain berbiaya murah, dampaknya juga sangat luar biasa.

“Menurut saya, above the line itu vertical media. Jadi, harus diimbangi dengan horizontal media. Hal ini dilakukan agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar dan hasilnya bisa lebih efektif lagi,” jelasnya.

Yuswohady menilai, saat ini stabilitas pasar Kapal Api goyah karena hadirnya kategori baru (Luwak White Koffie) dan pemain baru (Top Coffee). Namun ia menegaskan, di industri consumer goods, apalagi food & beverage, komunikasi hanya berlaku separuh atau seperempat dari kesuksesan produk.

Untuk jangka panjang, kualitas produklah yang menentukan. “Seperti Mie Sedaap itu memang enak loh. Dia mampu bertahan karena menawarkan sesuatu yang baru, yaitu ada rasa mi selain Indomie dan enak. Jadi, tidak bisa hanya mengandalkan TVC,” jelasnya.

Authors: Tony Burhanudin dan Harry Tanoso

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.