Perbedaan Wirausaha dan Manajer

asnan_furintoMarketing.co.id- Sampai akhir tahun 2012, rasio jumlah pengusaha di Indonesia baru di kisaran 0,4% dari total penduduk. Sosiolog David McCleland mengatakan untuk menjadikan ekonomi suatu negara menjadi tangguh, jumlah pengusaha harus minimal 2% dari populasi, atau berarti perlu ada sekitar 4,8 juta wirausaha di antara penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta orang.

Sebagai perbandingan, jumlah pengusaha di Singapura adalah 7,2% dari total penduduk, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korea Selatan 4,0%, dan Amerika Serikat 11,5%.

Seperti kita ketahui, ledakan jumlah pengangguran terdidik di Indonesia tidak terlepas dari paradigma lama yang masih cukup dominan di masyarakat bahwa gelar sarjana hanya berguna jika seseorang berkarier sebagai manajer profesional. Sebaliknya, untuk menjadi wirausaha, seseorang tidak perlu bersekolah sampai perguruan tinggi.

Jika tidak ada perubahan signifikan dari pola saat ini, diperkirakan baru di tahun 2025 Indonesia akan memiliki lima juta pengusaha. Salah satu hal yang bisa membuat percepatan peningkatan jumlah wirausaha adalah membuat para sarjana kita memiliki karakteristik kewirausahaan.

Kemampuan berpikir konseptual yang dimiliki seorang sarjana, jika dipadukan dengan logika praktis seorang wirausaha akan menjadi sebuah sinergi yang ideal. Sebenarnya, apakah perbedaan karakteristik antara seorang wirausaha dengan seorang manajer?

Menurut sebuah penelitian dari Read, Dew, Sarasvathy, Song, dan Wiltbank yang dimuat di Journal of Marketing (2009), ada empat perbedaan yang signifikan dari world view antara wirausaha dan manajer profesional.

Wirausaha_ManagerPerbedaan yang pertama adalah dalam cara memandang masa depan. Logika prediktif yang digunakan oleh para manajer membuat mereka memandang masa depan sebagai kontinuitas dari masa lalu. Prediksi dan forecast adalah sesuatu yang mutlak bagi manajer.

Sebaliknya, para wirausaha memandang bahwa masa depan bisa dibentuk selama mereka bisa mendapatkan komitmen dari investor, pemasok, dan pelanggannya.

Cara pandang inilah yang membuat wirausaha umumnya menganggap krisis sebagai peluang, selalu berusaha mengembangkan jejaring dengan pihak lain, dan tidak terlalu percaya kepada data historis.

Perbedaan yang kedua adalah pada orientasi pengambilan keputusan. Para manajer umumnya goal oriented, sedangkan para wirausaha umumnya means oriented. Jika diberikan suatu target, para manajer akan memecahnya menjadi beberapa subtarget dan menyiapkan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai subtarget dan target keseluruhan tersebut.

Di sisi lain, para wirausaha tidak akan menerima target yang diberikan begitu saja. Mereka cenderung mengawali perencanaannya dengan melakukan perhitungan inventori sumber daya yang mereka miliki (permodalan, jejaring bisnis, tokoh bisnis atau pejabat yang mereka kenal, dan lain-lain), dan bagaimana inventori tersebut dapat diramu untuk mencapai target.

Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa para wirausaha umumnya tidak memiliki target yang fix, karena target mereka dapat berubah sesuai naik-turunnya inventori sumber daya yang dimiliki.

Perbedaan ketiga adalah pada cara menilai risiko. Para manajer menggunakan metode expected return, sedangkan wirausaha memakai metode affordable loss. Pendekatan para manajer umumnya berfokus pada net present value.

Kontrasnya, pendekatan yang digunakan para wirausaha lebih memperhitungkan seberapa besar kegagalan yang dapat mereka tanggung. Bagi para pengusaha, selama besarnya kerugian maksimal masih dapat mereka tanggung, maka mereka akan maju terus.

Perbedaan yang keempat adalah pada cara menyikapi pelaku pasar lain. Para manajer umumnya menganggap bahwa kompetitor adalah lawan yang harus dikalahkan. Pangsa pasar adalah sesuatu yang harus dimenangkan, dan manajer biasanya enggan berbagi informasi dengan lawan.

Sebaliknya pada wirausaha, selama mereka melihat ada take and give, ada trade off, mereka tidak segan-segan berbagi informasi dengan lawannya, membuat kerja sama, aliansi.

Bagi wirausaha, bisnis adalah permainan. Asalkan jaringan bisnis dapat berkembang dan hubungan baik tetap terjaga, mereka menganggap bahwa kalah dan menang adalah wajar.

Agar para mahasiswa dapat belajar menggunakan pola pikir wirausaha, maka dalam simulasi analisis bisnis yang biasanya diawali dengan analisis makro, model Porter 5 Forces, identifikasi peluang pasar, analisis SWOT, dilanjutkan dengan pembuatan rencana bisnis, bisa saja dibalik dengan menggunakan pendekatan kewirausahaan.

Alih-alih diawali dengan analisis makro, mahasiswa justru bisa memulai dengan melakukan analisis inventori sumber daya, merumuskan visi bisnis dengan menggali passion dalam dirinya dan atau kelompoknya, kemudian memikirkan bagaimana inventori dan visi bisnis dapat dipadukan untuk mengisi peluang pasar yang ada, dan menentukan target awal yang ingin dicapai.

Asnan Furinto
Marketing Scientist

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.