Perubahan Perilaku Konsumen pada Era New Normal (3)

Marketing.co.id – Di artikel bagian 2 kita sudah membahas perubahan perilaku konsumen ditelisik dari Teori Maslow. Di bagian 3 (terakhir) ini mari kita ulas perubahan perilaku konsumen dari dua pendekatan. Yang pertama adalah perspektif Teori Motivasi dan yang kedua adalah konsep Keseimbangan Hidup alias Work-Life Balance.

Perubahan Perilaku Konsumen
Saat pandemi Covid 10 merebak, semua aktivitas konsumen mendadak mengecil cakupannya sehingga berpusat di rumah. Kegiatan sosial ataupun profesional (Work from Home) beralih ke kanal digital.

Pakar perilaku konsumen, Hirschman and Holbrook menyatakan bahwa konsumen pada dasarnya digerakkan oleh salah satu dari dua jenis dorongan saat melakukan keputusan konsumsi atau pembelian. Dorongan pertama adalah motivasi untuk menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya (utilitarian), sedangkan dorongan kedua adalah motivasi untuk mendapatkan kesenangan, keriaan, dan pengalaman yang menyenangkan (hedonisme).

Teori itu bisa menjelaskan mengapa ada variasi merek, harga, desain dan lain-lain dari sebuah kategori produk. Ketika konsumen sedang mempertimbangkan untuk membeli kendaraan pribadi misalnya, jika motivasi utamanya adalah utlitarian, maka konsumen tersebut akan memilih kendaraan yang relatif murah, kapasitas cukup besar, nyaman dikendarai, ada jaminan harga jual kembali.

Namun ketika motivasinya lebih didominasi oleh hedonisme, konsumen akan memilih kendaraan dengan merek/tipe premium, didesain untuk memerlukan supir pribadi, interior mewah, dilengkapi sistem audio canggih dan sebagainya. Hal ini berlaku juga untuk banyak kategori produk lain khususnya produk fashion, elektronik, teknologi, dan produk-produk terkait gaya hidup.

Perubahan Perilaku Konsumen
Asnan Furinto, Marketing Scientist and Strategist

Saat pandemi Covid 10 merebak, semua aktivitas konsumen mendadak mengecil cakupannya sehingga berpusat di rumah. Kegiatan sosial ataupun profesional (Work from Home) beralih ke kanal digital. Karena keterbatasan “panggung sosial”, dan juga karena rasa cemas akibat ketidakpastian pekerjaan yang dimilikinya (lihat artikel bagian 2), konsumen menjadi lebih terdorong oleh motivasi utilitarian dibandingkan hedonisme.

Tas kerja dengan merek premium, sepatu sport yang fancy, ponsel pintar keluaran terbaru, mobil mewah yang biasa parkir di area VIP tidak dapat dimunculkan lagi oleh konsumen untuk dilihat orang lain. Di layar aplikasi video conference hanya terlihat wajah dan sebagian badan konsumen. Motivasi hedonisme untuk sementara harus menyingkir.

Istilah Work Life Balance pertama kali muncul di era 1980an. Saat itu karena kegiatan ekonomi dan bisnis sedang mencapai puncaknya di berbagai sektor, maka pekerja mulai dihadapkan pada dilema apakah lebih mengutamakan kegiatan kantor atau mengutamakan kegiatan sosial dan keluarga.

Isunya adalah mencari cara agar kesetimbangan tersebut dapat dicapai. Dengan adanya pandemi di tahun 2020 ini, isunya tidak lagi mengenai kesetimbangan, tetapi pada integrasi dari kegiatan kerja, kegiatan sosial, dan kegiatan bersama keluarga (Work- Life Integration). Batas antara waktu dan lokasi untuk bekerja, bertemu kerabat/teman, dan menikmati quality time bersama keluarga menjadi kabur (blurred), karena semua kegiatan tersebut menjadi berpusat di rumah dan dapat dilakukan secara simultan, paralel, dengan difasilitasi teknologi digital dan media sosial.

Asnan Furinto
Marketing Scientist and Strategist
Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.