PMI Gaul dan Tidak Gaptek, Tapi Belum Dilindungi Jaminan Sosial

Marketing.co.id  –  Berita Financial Services | Keterbatasan lapangan pekerjaan di tanah air dan imbalan gaji yang lebih besar, mendorong banyak warga negara untuk bekerja di luar negeri. Mereka adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sering dijuluki Pahlawan Devisa bagi negara.

Bagaimana nasib PMI di masa Pandemi Covid-19 dan sejauhmana upaya pemerintah dalam memberikan jaminan sosial kepada PMI? Beberapa waktu lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) merilis hasil kajian bertajuk “The Effectiveness of Social Security Implementation for Indonesian Migrant Workers (PMI) and their families and its impact during the Covid-19 Pandemic.

Kajian tersebut menghasilkan beberapa temuan yang harus diperhatikan oleh para pemangku kepentingan. Studi ini menemukan kesenjangan yang lebar dalam hal kepesertaan Jamsos PMI. Non take up rate (proporsi PMI) yang belum ikut serta dalam program Jamsos mencapai 67,7% (6,09 juta PMI). Potensi penerima manfaat Jamsos PMI mencapai 9 juta jiwa dan 6,46 juta jiwa (71,78%) atau disebut sebagai potensi PMI yang eligible.

Kondisi ini menurut Soegeng Bahagijo, Peneliti dari INFID sayang disayangkan, karena PMI menurutnya memiliki pendapatan tetap, gaul, dan tidak gaptek. Mereka memiliki daya beli, yang belum ada willingness to pay, karena itu mesti dipermudah dan fitur-fiturnya harus sesuai kebutuhan mereka,” kata mengomentari hasil penelitian tersebut.

Baca juga: Banyak Pekerja Migran Belum Dapat Jaminan Sosial, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan Harus Kreatif

Studi juga ini menemukan lima tipologi Non-take up (NTU) di kalangan PMI yang sebagian besar masuk dalam kategori primary NTU, yakni PMI yang tidak melakukan klaim atas hak-hak mereka, baik secara sengaja maupun tidak, karena PMI tidak mendapatkan informasi yang lengkap terkait BPJS, PMI menerima informasi namun tidak mendapatkan akses (kanal pendaftaran dan pembayaran di luar negeri), dan PMI sudah memiliki asuransi lain di negara penempatan yang biasanya disediakan oleh majikan.

Soegeng menambahkan, ketika beberapa waktu lalu pemerintah menggelontorkan subsidi upah kepada pekerja yang terdampak pandemi, PMI tidak termasuk kelompok Penerima Bantuan Upah (PBI). Hal ini diperparah oleh banyak PMI yang gagal berangkat ke luar negeri karena pandemi. “Tahun 2020-2021, ratusan ribu pekerja kita gagal bekerja di luar negeri karena lockdown,” tandasnya.

Penelitian ini juga mengajukan beberapa rekomendasi, antara lain revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 18/2018 mendesak untuk dilakukan. Revisi Permenaker ini perlu mendekatkan program-program Jamsos kepada PMI, termasuk program Jaminan Hari Tua (JHT). Revisi Permenaker terbaru yang sedang disiapkan Kemnaker diharapkan mampu untuk closing the gap Jamsos PMI selama ini.

“Hasil penelitian ini menjadi masukan yang sangat berharga bagi kami untuk menjadikan jaminan sosial yang meluas dan mudah, dan bukan menjadi beban melainkan aset,” tutur Zaenudin Direktur Kepersertaan BPJS Ketenagakerjaan.

Zaenudin menegaskan, revisi Permanaker 18/2018 masih dalam  proses. ”Pekerjaan rumah bagi DJSN, Kemanaker sebagai regulator harus selesaikan segera revisi tersebut. Salah satu isunya bagaimana agar JHT menjadi wajib, karena ternyata ability to pay PMI bagus. Kami sangat senang revisi Permenaker dipercepat,” katanya.

Jaminan Sosial PMI
Foto: BPJS Ketenagakerjaan

Rekomendasi lain yang diajukan yakni BPJamsostek dan BPJS Kesehatan harus memperluas unit pelayanan/kantor cabang di negara-negara utama seperti Hongkong, Korea, Taiwan, dan Malaysia. Caranya bisa berkerja sama dengan Bank bank Himbara yang sudah beroerasi di sana ataupun dengan membuka cabang mandiri.

Baca juga: BNI Gandeng J.P. Morgan, Kirim Uang Antar Negara Kian Mudah

Merespon rekomendasi tersebut Zaenudin menjelaskan, memenuhi program jaminan sosial untuk PMI di luar negeri tidak mudah karena terhambat yuridiksi teritori negara. BPJamsostek katanya sudah lama ingin membuka kantor di kedutaan-kedutaan Indonesia  di luar negeri yang banyak PMI.

“Tapi kedutaan itu kan ada semacam konvensi tersendiri, hal ini lebih pas ditanyakan ke Kemenlu. Contohnya dalam setahun kami ingin buka di Malaysia tapi sampai sekarang belum bisa karena kendala yuridiksi negara.  Masalah lainnya akses bayar juga tidak gampang, karena layanan pembayaran antar negara harus ada ijin dari negara bersangkutan,” ungkapnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.