Properti Milenial, Penuh Gaya dengan Kantong Mini

Generasi X telah senja dan hidup men jauh dari hiruk pikuk megapolitan. Generasi milenial digadang dengan sejuta harapan untuk mulai menjadi sasaran pasar properti Indonesia. Seberapa besar peluang untuk mendulang profit dengan menyasar kelompok ini?

properti milenial

Inilah zaman penuh harapan sekaligus pepesan kosong. Kaum milenial yang dianggap sebagai bonus demografi dalam peta produktivitas SDM Indonesia segera mengambil tongkat estafet garda depan dari impian akan masa emas kita menjadi negara sejahtera gemah ripah loh jinawi dan serba berkecukupan.

Tetapi, generasi inilah yang benar-benar sedang berada di persimpangan paling sulit. Mereka secara simultan harus melawan globalisme dan persaingan maha berat, beban sosial yang semakin tinggi, dan tantangan memenuhi kualitas hidup yang paling complicated dari generasi terdahulu. Dari perspektif properti, mereka menghadapi kenyataan kelangkaan tanah layak huni yang membuat harga properti meroket dan tidak sejalan dengan kenaikan gaji mereka. Keperluan konsumsi yang bukan lagi kelas ‘pelepah pisang’, mengharuskan mereka berbelanja aneka gadget dan berbagai gaya metropolis yang boros dan short lasting.

Menawarkan properti kepada kaum milenial memang butuh kecerdikan. Di satu sisi, aneka permintaan mereka beragam, tetapi daya beli melempem. Berbagai aksi developer menyiapkan hunian yang serba hi-tech dan otomatis, tidak sejalan dengan kemampuan beli. Miris membaca hasil riset rumah.com yang menemukan bahwa hanya 17% milenial yang mampu membeli rumah dan ternyata sebagian besar letoy pada daya angsur.

Porsi penghasilan untuk menyicil hutang KPR/KPA hampir nisbi dan mustahil lolos dari analisis kehati-hatian bank. Disebutkan dalam riset itu, rata-rata penghasilan mereka hanya Rp6 juta. Dengan syarat angsur 30%, mereka hanya bisa menyisihkan Rp2 juta per bulan. Maka, untuk membantu kaum milenial agar terhindar dari tinggal di Pondok Mertua Indah, ada beberapa hal perlu menjadi catatan.

Pertama, developer cerdik akan memilah supply untuk kaum milenial tajir dan milenial maju tak gentar.  Keduanya punya pikiran yang sama tentang impian tempat tinggal tetapi berbeda perilaku fnansialnya. Kaum muda yang belum sepenuhnya beruntung, harus berpikir investasi dan bukan melulu rumah untuk tinggal.

Caranya, sejak muda sebelum menikah sudah mulai membeli rumah kecil dengan tenor pinjaman maha panjang sehingga angsuran dapat ditutup dari sewa. Setelah lima tahun, properti dijual dengan setumpuk capital gain dan yield sewa. Anda akan dapat sekitar 115% dari harga dasarnya. Flipping. Anda pemegang cash on hand sebesar dua kali lipat harga rumah dengan cash outflow hanya lima tahun angsuran dari (misalnya) 30 tahun KPR. Sekarang Anda punya cukup uang untuk membelikan rumah untuk si upik. yang siap lahir. Tetap berutang, tetapi sudah jauh lebih ringan dari sebelumnya, atau mungkin Anda justru sudah mampu membeli rumah keren. Lima tahun itu bernilai karena capital gain dan gaji/jabatan Anda juga sudah matang.

Kedua, stakeholder perumahan yang benar-benar memikirkan cara kaum milenial ini terhindar menjadi gelandangan sejati. Pemerintah dengan pajak dan subsidi first time buyer. Bank dengan tenor panjang dan bunga khusus, developer dengan kreativitas pasar yang meraih pembeli pemula dalam jumlah masif dengan DP yang mudah dibayar. Ini tanggung jawab bersama. Kalau perlu ada Komite Nasional Penanggulangan Hidup Tanpa Rumah.

Hari ini kita harus benar-benar serius agar esok tidak meninggalkan kaum milenial yang sengsara hidup di pemukiman tak layak huni. We build a house, and they built a home. Lahirlah generasi baru yang unggul, sehat, dan tidak menjadi beban sosial. Rasanya ini tidak mahal karena hanya butuh serius mikirin mereka.

Persoalan kaum milenial benar-benar berkait. Sekolahnya tinggi, tetapi gajinya rendah. Generasi X belum akan rela melepas jabatan-jabatan puncak sehingga ‘urut kacang’ kaum milenial ini memang masih panjang. Menariknya, perilaku melepas ‘urut kacang’ ini melahirkan bisnis-bisnis kreatif yang bukan lagi hierarki usang perkantoran yang formal dan memakai skala gaji bermatriks. Tetapi ‘bayang-bayang Pareto’ masih akan melahirkan sekelompok kecil milenial amat kaya yang menguasai akses kemudahan menjadi sukses.

Artinya, sebagian besar generasi baru ini belum akan menangkap peluang hidup yang nyaman. Maka, menjadi pekerjaan kita untuk meninggalkan warisan berupa dorongan, kebijakan, dan insentif agar kaum milenial ini benar-benar digdaya.

F. RACH SUHERMAN , CEO F Rach Management
Tulisan ini dimuat dalam Majalah Property-In edisi Januari 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.