Rapor Merah Merek

Belum lama ini Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyodorkan laporan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai penilaian kinerja para anggota Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam laporan itu, ternyata ada tiga menteri yang dianggap kurang berhasil menjalankan tugasnya, tak memenuhi target, dan diganjar rapor merah. Mereka adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar; Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto; juga Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring.

Seperti biasa, usai pengumuman, tak butuh berhari-hari untuk memancing beragam isu spekulatif yang menyoroti masalah kebijakan presiden. Kali ini, kabar yang beredar, para menteri yang mendapat rapor merah akan diganjar kartu merah, alias di-reshuffle. Namun, kabar itu segera dibantah kalangan “istana”. Presiden bilang, tidak ada reshuffle kabinet dalam waktu dekat.

Nah, kalau kita bicara mengenai marketing, kita akan mendapatkan beberapa contoh merek yang telah diberi rapor merah oleh konsumen. Bahkan, merek yang diberi kartu merah pun banyak. Tentu saja ini terkait sengitnya situasi persaingan antarpemain dan terjadinya hukum alam: siapa yang kalah akan tersingkir dari permainan.

Adam Air, contohnya, langsung diganjar kartu merah setelah tak kunjung memberikan layanan yang baik kepada pasar penerbangan. Beberapa kali kecelakaan terekam dalam benak konsumen. Terakhir, pada hari pertama tahun 2007 silam, salah satu armada dari maskapai berwarna korporat oranye itu hilang kendali dan “nyemplung” ke perairan Majene, Sulawesi Barat.

Mungkin saja kejadian tragis itu tidak akan menimpa apabila Adam Air menerapkan manajemen penerbangan yang bagus, melayani pelanggan dengan benar, dan tidak melupakan persoalan teknis yang menjadi menu pokok di industri transportasi udara. Padahal, rapor merah telah berkali-kali dilayangkan oleh pemerintah. Karena tak menggubris, kini Adam Air benar-benar telah tiada.

Di pasar telepon seluler (ponsel), sekarang merek Siemens tak lagi ada di Indonesia. Siemens akhirnya mendapat rapor merah setelah sekian tahun berupaya menaklukkan pasar ponsel dan tidak berhasil. Siemens gagal meraih simpati karena dinilai tak cocok dengan kemauan pengguna yang butuh kepraktisan dalam hal pengoperasian ponsel.

Di pasar sepeda motor, merek-merek asal Cina seperti Jialing, Beijing, Loncin, Sanex, Qingqi, Jianshe, dan Chunlan langsung mendapat rapor merah beberapa saat setelah mereka masuk ke pasar Indonesia. Bagaimana tidak, mereka memasarkan produk dengan kualitas yang jauh lebih buruk dari merek Jepang, tak mengiringi produknya dengan jaminan layanan purnajual yang layak, dan tidak memiliki jati diri sebagai merek. Sehingga, tak butuh bertahun-tahun bagi konsumen untuk melancarkan kartu merah (setelah sebelumnya memberi rapor merah). Hal ini juga sedang terjadi pada motor Suzuki di Indonesia. Pangsa pasar mereka terus digerogoti oleh sepeda motor Honda dan Yamaha.

Kriteria Penilaian

Pada umumnya, sebuah merek akan diseleksi secara otomatis begitu masuk ke pasar. Beberapa seleksi atau penilaiannya, antara lain, mampukah merek tersebut memberikan manfaat yang benar-benar diinginkan oleh konsumen; apakah merek tersebut relevan dengan situasi saat ini (misalnya dengan kondisi dan selera); apakah harga yang ditetapkan sesuai dengan ekuitas merek atau tidak, karena kadang-kadang dalam banyak kasus terjadi over pricing, yaitu harga ditetapkan terlalu tinggi atau melebihi nilai harga yang ditoleransi oleh konsumen.

Selain itu, apakah merek tersebut sudah di-positioning-kan dengan tepat; apakah merek tersebut konsisten dengan pesan-pesannya; sejauh mana merek tersebut melakukan investasi terhadap peningkatan kinerja mereknya; seberapa jauh kekuatan inovasi dari elemen-elemen bauran pemasarannya; dan lain sebagainya.

Itulah poin-poin yang mesti diperhatikan bagi pemasar dalam memasarkan mereknya agar tak mendapat rapor merah dari konsumen. Sebab, rapor merah yang dilabelkan oleh konsumen itu benar-benar sangat berbahaya bagi sebuah merek. Bayangkan, apabila merek Anda dicap tidak baik oleh pelanggannya, merek Anda akan kehilangan konsumen yang telah didapatkan dengan susah payah.

Ibarat sebuah permainan sepakbola—yang kini masih ramai dibicarakan di seluruh dunia, pemain akan mendapat kartu merah apabila melakukan pelanggaran berulang kali dan tak bergegas berubah. Di ajang final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Juli kemarin, seorang pemain dari Belanda, Johnny Heitinga, mendapat kartu merah setelah mendapat kartu kuning dua kali.

Begitulah juga dengan merek. Kalau tidak bermain secara total di pasar—di dunia sepakbola disebut total football—maka merek akan didepak dari area permainan oleh konsumennya sendiri. Ini sangat disayangkan, sebab kalau sudah begitu akan sangat susah untuk menghitamkan kembali rapor dari konsumen. Sebuah merek butuh waktu lama hanya untuk menghitamkan rapornya yang merah itu.

Lihatlah Mizone, minuman isotonik bernutrisi, “adik” dari air dalam kemasan merek Aqua, yang pertama kali diluncurkan di Surabaya pada 27 September 2005 dengan dua rasa (orange lime dan passion fruit). Produk ini pernah diberi rapor merah oleh konsumen di akhir tahun 2006, setelah ketahuan tidak jujur karena tidak mencantumkan kandungan bahan pengawet pada kemasannya. Mizone harus ditarik dari peredaran. Setelah berupaya bangkit kembali, ia tampak kesusahan, walaupun akhirnya berhasil juga—sesudah menghabiskan dana cukup besar untuk kampanye secara terus-menerus.

Oleh karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini—khususnya di dunia pemasaran, para pemasar mesti menyusun strategi secara tepat, mengelola merek sebaik mungkin, dan melayani konsumen secara baik. Jika sudah mendapat rapor merah—apalagi kartu merah, susah lagi untuk membangkitkan merek yang sama di mata konsumen. Istilahnya, kalau sudah merah, ya ke laut aja deh (seperti Adam Air). Begitu ceritanya. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.