Salah Target, Salah Semua

Targeting memudahkan pemasar untuk memahami konsumen lebih detil. Salah memilih target, salah juga konsep lainnya.

Setiap pelanggan itu berbeda-beda. Tidak ada pelanggan yang sama. Ini fakta yang tidak bisa dibantah. Idealnya, setiap pemasar mampu melayani setiap pelanggannya secara personal. Sayangnya ini sulit dilakukan. Kecuali mau melayani pelanggan dalam skala kecil atau karena bisnisnya B2B. Namun, ketika bergerak di bisnis consumer, yang pelanggannya banyak, sulit melakukan layanan personal. Sebab konsumen bersifat heterogen.

Dari sinilah pemasar kemudian melakukan segmentasi. Konsep ini sebagai alat bantu untuk memetakan pelanggan yang ingin dibidik. Tetapi, di setiap segmen terjadi pembagian kelas, baik berdasarkan kecenderungan, perilaku serta gaya hidup. Mmaka kemudian muncullah yang namanya targeting, sasaran yang lebih spesifik dari segmen yang ingin dibidik.

Sebagai contoh, BMW dan Mercedes Benz (Mercy) merupakan kendaraan yang menyasar segmen kelas atas (premium). Tapi kemudian, target yang dibidik dari dua merek mobil mewah ini berbeda. Mercy membidik target kelompok konsumen yang lebih tua—meskipun sekarang sudah mulai membidik eksekutif muda. Sedangkan BMW menarget pasar yang lebih muda, yang biasa dikenal dengan eksekutif muda. Jadi, pada hakikatnya, walau segmen yang sama bisa jadi target bidikannya berbeda.

Pemasar melakukan dua hal ini (segmentasi dan targeting) untuk menetapkan secara pasti bahwa produknya bisa diterima sesuai karakteristik konsumen di masing-masing level. Sebut saja, misalnya, pembagian segmen secara demografis yang menyangkut umur dan kelas sosial ekonomi. Kemudian segmen ini terbagi lagi ke dalam klaster yang lebih kecil yang satu sama lain ingin dibedakan. Klaster-klaster inilah yang masuk ke dalam kelompok targeting.

Lebih detilnya bisa dicontohkan sebagai berikut. Katakanlah produk A memilih segmen kelas C plus dan B, usia 20–34 tahun yang tinggal di perkotaan. Itu adalah segmen. Dari situ, pemasar pastinya membedah lagi ke dalam konsep targetingnya. Misalnya pria muda aktif dan dinamis, concern terhadap kesehatan tetapi cenderung maskulin. Padahal, di segmen kelas C plus dan B usia 20–34 tahun yang tinggal di perkotaan, masih banyak klaster lain berdasarkan kecenderungannya.

Jika tidak jelas memandang pembagian segmen dan targeting, pemasar bisa melakukan kesalahan. Strategi pemasaran lainnya bisa tidak mengena, dan akan berakibat fatal terhadap merek. Kasusnya bisa seperti Galeria yang tidak jelas melakukan targeting. Pusat belanja ini akhirnya tenggelam karena tidak jelas siapa yang mau dibidiknya. Secara tegas, Galeria ingin menyasar kelompok premium. Tapi, targetingnya tidak jelas. Malah akhirnya konsumen melihat Galeria hanya berbeda plastik pembungkusnya saja dengan Matahari yang membidik segmen di bawahnya.

Menurut pengamat ritel, Sugiyanto Wibawa, ekses dari kesalahan dari targeting sangat beresiko terhadap konsep bisnis secara keseluruhan. Misalnya, mau menjual berlian, karena salah mengidentifikasi target market, maka placing-nya bisa salah juga. “Mau jualan berlian bagus kok di Pasar Senen? Kenapa enggak di Plaza Senayan? Kenapa enggak mikir? Memangnya orang jualan mau gagal? Kan enggak,” katanya.

Kesalahan targeting juga dilakukan oleh Indonesian Air dalam industri penerbangan. Maskapai ini merupakan salah satu pemain yang sangat kuat dan memiliki produk bagus karena seat-nya terbuat dari kulit dan punya layanan infant service yang sangat baik. Tapi, tiba-tiba penerbangan ini juga mengincar segmen pelanggan yang mau naik haji. Padahal ini membutuhkan layanan yang sangat tinggi. Kesalahan sedikit bisa berakibat fatal.

Nyatanya, memang demikian. Indonesia Airlines harus menelan pil pahit akibat  kesalahan ini. Sejumlah kloter yang sudah dijanjikan olehnya gagal diberangkatkan. Protes mengalir sangat gencar dan kerugian harus ditanggung. Tidak hanya materi, merek penerbangan ini pun harus runtuh.

“Indonesia Airlines memang melayani rute reguler, tapi dia juga melayani jamaah haji. Kita tahulah, kalau rute jamaah haji itu sangat-sangat membutuhkan pelayanan tinggi. Karena dalam satu bulan mesti puluhan flight. Sedikit salah, buyar. Banyak jamaah yang terlantar, orang jadi tidak puas,” papa Yadi Budhisetiawan, pengamat pemasaran dari Force One.

Pada kasus lain, pemasar bisa saja sudah menetapkan target sasaran yang mau dibidik secara jelas. Tapi, komunikasi yang dilakukan disalahpahami atau tidak sesuai dengan gambaran target market yang dituju. Kemungkinannya bisa dua. Pertama, “gatot” alias gagal total. Kedua, justru diterima oleh kelompok konsumen yang merasa terwakili oleh pesan dan karakter iklan yang disampaikan. Kasus ini bisa disebut salah sasaran.

Kasusnya terjadi pada merek energy drink Panther. Merek ini, seperti minuman berenergi lainnya, menyasar konsumen dewasa. Tapi kemasan sachet-nya banyak dikonsumsi oleh anak-anak. Kasus lainnya dialami Kopi Cup. Produk ini sejatinya untuk orang dewasa. Namun, ternyata tidak sedikit anak-anak yang mengkonsumsinya. Untuk jangka pendek, bisa jadi ini menguntungkan karena membuahkan sales. Tetapi, dalam jangka panjang bisa merugikan. Karena biasanya konsumen tidak mau dibaurkan dengan kelompok yang jauh berbeda.

Bagaimanapun, targeting salah satu konsep yang sangat penting dan sangat berisiko terhadap strategi lainnya di pemasaran, jika salah dilakukan. Targeting merupakan perwujudan dari upaya pemasar untuk memahami konsumen dan melakukan pendekatan yang lebih bersifat customized.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.