Seberapa Jauh Sih Kita Telah Meninggalkan Pandemi?

Marketing.co.id – Berita Marketing | Sudah lebih dari 2 tahun kita hidup berdampingan dengan pandemi. Meskipun beberapa aktivitas sudah kembali seperti biasa, bukan berarti kehidupan kita sudah kembali normal. Bagi mereka yang sempat terpuruk di masa pandemi, masa 2 tahun belum cukup untuk dapat kembali seperti awal.
Belum lama ini sutradara Joko Anwar membagikan sebuah video yang menggambarkan perjuangan itu, melalui media sosial Instagram. Video berdurasi 3 menit tersebut sempat viral, dan banyak orang turut membagikan pengalaman yang sama, tentang kegigihan, tentang perjuangan untuk bisa bertahan hidup dari hantaman pandemi COVID-19. Video tersebut mengingatkan bahwa perjuangan juga merupakan satu hal yang patut kita rayakan.
Perayaan tak harus selalu tentang mereka yang sukses, tapi juga mereka yang jatuh berkali-kali, kalah, dan gagal, tetapi terus berusaha dan bangkit kembali juga perlu dirayakan dan diapresiasi. Sebab, perjuangan seperti ini sejatinya merupakan perjuangan yang nyata milik kita semua.
Kisah empat orang dalam video tersebut begitu nyata, bisa dibilang hanya segelintir dari sekian banyak cerita getir dalam sulitnya mempertahankan hidup di tengah pandemi. Tapi, yang menarik adalah bukan semata soal cerita getir, melainkan karakter masyarakat Indonesia yang gigih: jatuh, bangkit lagi. Gagal, coba lagi. Kalah, berjuang lagi.
Semangat ini melatarbelakangi kampanye kampanye #Percaya yang baru saja diluncurkan Grab untuk merayakan semangat masyarakat Indonesia yang begitu gigih, tak lelah mencoba meski tak mengetahui pasti apakah sukses atau gagal yang akan ditemui..
Berikut cerita singkat dari para pejuang #Percaya  dalam video yang dibagikan Joko Anwar di media sosial:    

Banting Setir dari Sales Marketing Menjadi Pebisnis Kuliner Rumahan 

Ni Nyoman Ami Ruliani atau Mba Oming (39), Banting Setir Menjadi Pebisnis Kuliner Rumahan
Ni Nyoman Ami Ruliani atau Mba Oming (39), Banting Setir Menjadi Pebisnis Kuliner Rumahan

Banting stir dari sales marketing, menjadi penjual makanan rumahan dengan mengandalkan kemampuan memasak makanan khas daerah asalnya, Bali. Hal tersebut terpaksa dilakukan untuk bertahan hidup dan menyambung rezeki di tengah pandemi. Menghadapi situasi tersebut tentu bukan hal mudah.
Dulu ia mendapatkan penghasilan tetap, tapi sekarang ia hanya mengandalkan pesanan pelanggan; teman, keluarga, kolega dan media sosial. Penghasilannya tak menentu, kadang sepi pesanan. Hingga saat ini, Oming hanya bisa usaha kecil-kecilan karena keterbatasan tenaga dan dana, tapi hal tersebut tidak membuatnya menyerah. Ia tetap yakin dan percaya, karena dengan itulah ia bisa bertahan.
“Jika diingat-ingat, waktu itu tabungan saya pernah hampir habis. Tapi, berkat resep makanan dari ibu saya, berkat kembali kepada cita rasa dari kampung halaman saya di Bali, saya bersyukur sekali bisa terus bertahan dengan Dapur Oming. Percaya adalah kunci dari semuanya,” ucap Ni Nyoman Ami Ruliani.

Dari Kamera Hingga Kuas Cat, Kerja Apa Aja Demi Sesuap Nasi 

Jaenal Arifin (46), Kerja Apa Aja Demi Sesuap Nasi
Jaenal Arifin (46), Kerja Apa Aja Demi Sesuap Nasi

Kisah berbeda dialami Jaenal yang bahkan sebelum pandemi sekalipun, ia tak punya penghasilan tetap. Pekerjaannya sebagai asisten videografer dan fotografer sangat bergantung pada permintaan, sementara ia harus menghidupi istri dan dua orang anaknya. Pandemi menjadi pukulan keras baginya. Bisa dibilang, jasa videografer dan fotografer hampir tidak ada karena PPKM.
Belum lagi musibah banjir yang membuatnya semakin terpuruk. Walhasil, apapun ia lakukan untuk menyambung hidup, hari demi hari. Mulai dari jualan kerupuk dan gorengan yang ia jajakan dengan motor hingga menjadi tukang cat. Lantas, apa yang membuat Jaenal bertahan hingga saat ini? Hanya modal percaya dan yakin!
“Karena rasa tanggung jawab saya sebagai pemimpin keluarga, lalu didukung istri dan kedua putra, saya termotivasi untuk tetap berjuang di situasi yang tidak jelas ini. Tak peduli harus jadi tukang cat atau tukang gorengan, yang penting, usaha dulu aja,” ucap Jaenal Arifin.

Membangun Kembali Puing-puing Mimpi dari Lempeng Besi

Edoardo Sri Martono (46), Membangun Kembali Puing-puing Mimpi dari Lempeng Besi
Edoardo Sri Martono (46), Membangun Kembali Puing-puing Mimpi dari Lempeng Besi

Bisa dibilang usaha pusat kebugaran yang dirintis Edoardo sudah cukup mapan. Tapi, pandemi tidak hanya berdampak bagi mereka yang berada di bawah, karena orang seperti Edo juga kena imbasnya. PPKM membuatnya harus menutup pusat kebugaran yang dimilikinya. Otomatis tidak ada penghasilan, karyawan-pun di-PHK, alat-alat gym dijual.
Aturan PPKM yang tidak menentu membuatnya semakin terpuruk. Ia hanya bisa bersabar, yakin dan percaya. Situasi memang berangsur membaik, tapi membangun kembali usahanya tentu membutuhkan waktu, tenaga, dan uang. Ditambah lagi ia harus berhadapan dengan ketidakpastian pandemi karena nyatanya virus terus bermutasi.
“Pastinya cukup berat bagi saya untuk kehilangan beberapa lokasi myGym dan peralatan kebugaran karena pandemi ini. Ditambah dengan kehilangan rekan kerja karena tidak sanggup membayar mereka. Tetapi, dengan dukungan keluarga saya yang tidak berhenti, telah memberikan motivasi bagi saya untuk bertahan karena saya percaya semua ini dapat terlewati,” ucap Edoardo Sri Martono.

Bertahan dan Bangkit dengan Olahan Tangan

Driana Rini Handayan atau Simbok (53), Bertahan dan Bangkit dengan Olahan Tangan
Driana Rini Handayan atau Simbok (53), Bertahan dan Bangkit dengan Olahan Tangan

Driana Rini Handayani memiliki pendirian yang teguh dan optimisme tinggi, tapi tumbang juga dihantam pandemi. Usaha kuliner rumahan (makanan beku) yang ia bangun menurun drastis. Tapi ibu yang akrab dengan sebutan Simbok ini, tidak mau menyerah pada keadaan. Selain makanan beku, ia juga membuat homemade soap (sabun buatan sendiri) dan menjajakannya di media sosial.
Hari demi hari ia lalui tanpa kepastian kapan pandemi berakhir, kapan ekonomi pulih. Yang Driana lakukan hanya terus berusaha, percaya di tengah ketidakpastian. “Di masa seperti ini, tidak ada pilihan untuk menyerah. Kami harus bisa bangkit. Aku bukan orang yang suka mengeluh karena aku percaya kalau kesulitan ini hanya sementara dan tidak ada yang tidak mungkin asal kita terus berusaha,” ujarnya.
Kisah empat orang di atas hanyalah sebagian  dari ribuan, bahkan jutaan kisah yang sama di luar sana, atau kita sendiri, yang masih terus berjuang di tengah pandemi. Bukan keberhasilan yang menjadi tolok ukur di tengah pandemi, karena tak ada garis finis yang pasti di tengah pandemi. Namun, kita selayaknya merayakan perjuangan kita yang terus bertahan, yang terjatuh, gagal dan kalah, tetapi tak gentar untuk bangkit lagi. Di balik kekuatan serta kegigihan itu, selalu ada satu kata yang tak terucap: #Percaya. (***)
 
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.