Service or Solution?

Customer Service Championship yang diselenggarakan oleh Carre–Center for Customer Satisfaction and Loyalty (CCSL) dan didukung Majalah MARKETING telah selesai dilaksanakan di akhir Agustus 2010 yang lalu. CS Championship ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Pelanggan Nasional yang jatuh pada 4 September. Salah satu rangkaian acara yang digelar adalah presentasi yang dilakukan oleh para customer service manager. Mereka mempresentasikan studi kasus keberhasilan perusahaan mereka dalam menangani persoalan pelayanan yang dihadapi oleh call center atau pelayanan walk-in-center di perusahaan masing-masing.

Sebagai salah satu anggota dewan juri, saya sungguh menikmati acara ini. Banyak manajer yang membawakan presentasi dengan sangat baik. Mereka memiliki kemampuan konsep yang baik dan juga pemahaman terhadap industrinya secara baik. Melihat kualitas presentasi yang mereka sajikan, optimisme saya terhadap kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan Indonesia semakin bertambah besar. Perusahaan-perusahaan Indonesia terbukti memiliki banyak manajer yang berkualitas di bidang ini. Tidak mengherankan pula, beberapa tahun terakhir ini, banyak manajer yang kemudian dikirim ke ajang internasional dalam lomba customer service, ternyata juga mendapatkan penilaian yang baik dari dewan juri di tingkat Asia maupun global.

Walaupun demikian, tentunya ada sisi yang masih perlu diperbaiki. Beberapa persoalan pelayanan di dalam perusahaan hanya dilihat dalam perspektif dan konteks yang agak sempit. Perusahaan melihat bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan adalah dengan cara melihat problem di pelayanan, disesuaikan dengan harapan pelanggan, dan kemudian berupaya untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pelanggan di kemudian hari. Padahal, sangat mungkin bahwa yang pelanggan butuhkan adalah solusi yang lebih baik. Mereka menginginkan sebuah pelayanan yang lebih inovatif dan menjawab kebutuhan dan keinginan mereka, dan bukan sekadar harapan mereka.

Misalnya saja, dalam pelayanan call center, problem yang sering terjadi adalah rejection atau ignorance call yang tinggi. Artinya, banyak telepon yang tidak mendapatkan pelayanan karena kekurangan jumlah agen atau jumlah telepon masuk yang tinggi pada jam-jam tertentu. Demikian pula dalam pelayanan walk-in-center, problem yang sering dihadapi adalah waiting-time yang semakin lama. Ini terjadi karena jumlah pelanggan yang datang ke galeri pelayanan semakin banyak. Di sisi lain, perusahaan tidak cukup cepat menambah jumlah tempat pelayanan untuk menampung peningkatan jumlah pelanggan.

Dalam perspektif kepuasan pelanggan, sangatlah logis bila kemudian permasalahan ini harus dipecahkan. Yang paling favorit adalah dengan menambahkan jumlah orang. Atau kemudian, mempercepat proses training para front liner agar semakin terampil dalam pelayanan. Dengan cara demikian, perusahaan akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan. Tapi, apa jadinya upaya-upaya ini? Grafik kepuasan pelanggan akan terlihat cukup tinggi. Bila para pesaing juga melakukan hal yang sama, maka tingkat kepuasan akan menjadi mirip. Tetapi, problem terbesar adalah tingkat loyalitas yang tidak ikut naik atau bahkan memiliki kecenderungan menurun.

Service vs Solution

Inilah contoh situasi di mana perusahaan terjebak dalam pelayanan yang standar. Mereka terus melakukan evaluasi terhadap pelayanan dan kemudian di match-kan dengan harapan pelanggan. Apalagi dalam soal keramahan. Perusahaan Indonesia sudah sangat baik. Hampir sulit ditemukan bank yang mempunyai pelayanan yang tidak ramah di sini. Itu terjadi karena peningkatan pelayanan dalam hal keramahan memang telah mendapatkan prioritas yang tinggi.

Perbaikan dilakukan hanya dalam perspektif jangka pendek ini. Padahal, sangat mungkin bahwa kebutuhan dan keinginan pelanggan sudah mulai bergeser. Pelanggan membutuhkan suatu kenyamanan baru. Sebuah pelayanan yang selesai di satu tempat dan dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Mereka ingin sebuah pelayanan di mana mereka diperlakukan secara individu. Pelanggan ingin agar mereka memiliki kontrol dalam pelayanan. Mereka ingin mudah dalam melakukan bisnis dengan perusahaan.

Perubahan kebutuhan dan keinginan ini, menyentuh esensi yang lebih dalam. Tanpa memberikan perubahan pelayanan yang radikal, kepuasan akan tetap moderat dan loyalitas bisa menunjukkan grafik yang menurun. Dalam situasi seperti ini, perusahaan memerlukan customer solution dan bukan sekadar perbaikan customer service. Bisa jadi, bukan call center yang mudah diakses yang mereka inginkan, tetapi produk yang memang mudah dimengerti. Bukan waiting time yang lebih singkat yang mereka inginkan, tetapi pelayanan home service. Pelanggan membutuhkan solusi. Perusahaan perlu melihat dalam perspektif yang lebih luas. Lalu, apa yang membuat perusahaan tidak mampu untuk menciptakan customer solution?

Customer Centric vs Service Centric

Pertama, customer solution hanya akan terjadi untuk perusahaan yang memang sudah mempersiapkan organisasinya, termasuk teknologi dan sumber daya manusianya. Mereka memiliki perusahaan yang disebut customer centric, dan bukan service centric business. Perusahaan yang masuk dalam kategori service centric organization berupaya untuk mencapai pelayanan prima. Perusahaan meningkatkan kualitas pelayanan dengan cara meningkatkan atribut pelayanan, seperti keramahan, kecepatan, akurasi, dan lain-lain. Mereka berupaya untuk mengalahkan pesaing dalam memberikan pelayanan yang prima. Hanya saja, sangat mungkin, mereka kemudian terjebak dalam pemikiran inside-out. Mereka melihat apa yang sanggup mereka berikan kepada pelanggan dan kemudian kehilangan perspektif besar.

Sebaliknya, perusahaan yang termasuk customer centric organization berusaha mempelajari obsesi pelanggan di masa mendatang. Mereka mempunyai relationship yang sangat baik dengan pelanggan. Mereka melakukan bisnis dengan cara outside-in. Semuanya dimulai dengan pelanggan dan kemudian perusahaan melakukan mobilisasi resources-nya untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Kalau perusahaan yang service centric mempunyai masalah, mereka akan melihat problem di tingkat front liner. Perbaikan dilakukan di level mereka. Perusahaan yang customer centric akan melakukan perubahan dengan cara melihat service-profit chain. Mereka melihat permasalahan hingga ke belakang, yaitu karyawan back office, teknologi, system, atau bahkan kualitas para leader-nya.

Jadi, apa yang perlu diperbaiki oleh perusahaan yang masih service centric agar menjadi customer centric? Tentu saja, semuanya dimulai dengan CEO dan BOD-nya. Mereka perlu menetapkan customer vision, yaitu menentukan tujuan perusahaan dalam konteks dengan pelanggannya, seperti yang Peter Fisk jelaskan dalam bukunya Customer Genius. Setelah itu, yang kedua, perusahaan perlu mempunyai customer strategy yang jelas. Perusahaan yang berorientasi pada solusi selalu berupaya untuk memberikan pelayanan berbeda untuk pelanggan yang berbeda. Dengan cara seperti ini, mereka mampu melihat segmen pelanggan yang paling demanding. Inilah kelompok yang menentukan tingkat pelayanan yang harus mereka berikan di masa mendatang. Pelanggan inilah yang akan men-drive perusahaan untuk melakukan inovasi-inovasi baru di masa mendatang.

Customer strategy juga memungkinkan perusahaan untuk melihat lebih jelas, segmen mana sajakah yang menghasilkan profit bagi perusahaan. Tanpa tingkat profit yang baik, perusahaan tidak akan mampu untuk melakukan investasi dalam bidang teknologi, sumber daya manusia, dan perbaikan proses. Padahal, inilah yang sangat mungkin menjadi solusi  bagi pelanggan, dan bukan sekadar pelayanan yang standar. Pelanggan mungkin memerlukan saluran yang baru, produk yang baru, dan cara-cara berbisnis yang baru.

Ketiga, untuk mencapai tingkat customer solution dan bukan sekadar pelayanan yang standar, maka perubahan dalam customer insight sangat diperlukan. Perusahaan harus mengombinasikan semua cara untuk mempelajari pelanggan. Mereka membutuhkan survei, mystery shopping, FGD, dan juga semua data internal. Peran database, customer profiling, dan permodelan data pelanggan menjadi sangat penting artinya untuk memahami pelanggan lebih utuh. Inilah yang menjadi kelemahan dari banyak perusahaan di Indonesia, di mana kemampuan untuk mengintegrasikan data-data dari berbagai sumber ini masih lemah.

Keempat, perusahaan kemudian mempersiapkan perencanaan model dari customer solution. Untuk mencapai ini, dibutuhkaan sebuah spirit baru, yaitu co-creation. Dalam berbagai industri seperti telekomunikasi, ini sudah menjadi suatu keharusan. Perusahaan harus berkolaborasi dengan pelanggan. Pelanggan bisa menjadi co-designing. Mereka ikut mendesain produk baru. Mereka berpartisipasi dalam memberikan evaluasi. Lebih jauh, mereka bisa terlibat dalam co-developing. Mereka terlibat dalam proses pemilihan pelayanan yang efektif untuk mereka. Perusahaan membantu dalam berbagai pilihan dan kemudian kontrol untuk memilih ada di pelanggan. Terakhir, pelanggan bisa menjadi bagian co-delivering. Dalam proses ini, sebagian proses pelayanan justru dilakukan pelanggan sendiri, dan pelanggan merasa puas karena inilah yang mereka inginkan. Melibatkan mereka! Akhirnya, perusahaan memberi solusi dan bukan pelayanan yang standar.

Bagi perusahaan yang merayakan hari Pelanggan pada 4 September ini, saya sampaikan, “Salam pelanggan! Pelanggan puas, pelanggan loyal!”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.