Siapa Kalah, Siapa Menang

www.marketing.co.id – Orang-orang sekarang mulai percaya pada survei sejak hitungan cepat (quick count) menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dibandingkan hasil Pilkada. Termasuk halnya dengan Pilkada DKI putaran pertama, dimana hampir semua lembaga survei yang kerap mengadakan quick count menunjukkan hasil yang sama: Jokowi-Ahok sekitar 42% dan Foke-Nara sekitar 34%.

Saya ingat ketika Indonesia mengadakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali. Banyak televisi yang mengadakan polling mengenai presiden terpilih. Hasilnya menarik, di RCTI, Megawati Soekarnoputri unggul; di Metro TV, SBY unggul; sementara almarhum Abdurrahman Wahid unggul di TPI.

Siapa yang akhirnya benar? Masalahnya bukan stasiun televisi mana yang akhirnya mendekati kebenaran, tetapi ketiganya sebenarnya sudah gagal dalam hal yang lebih fundamental, yakni penarikan sampel.

Polling yang dilakukan televisi ketika itu mengambil sampel para pemirsa televisinya masing-masing. Anda bisa mengira-ngira seperti apa penonton televisi mereka dan capres mana yang bisa menarik massa dengan kriteria demografis yang mirip pemirsa televisi tersebut? SBY yang (ketika itu) masih favorit kaum intelektual kuat di Metro TV, sedangkan Gus Dur memang menguasai akar rumput, kalangan Nahdiyin yang menggemari acara dangdut di TPI!

Sampel adalah jantung dari sebuah survei. Salah mengambil sampel membuat hasil riset pun menjadi “data sampah”. Data menjadi salah dan bisa berakibat salah mengambil keputusan. Untungnya mass media sekarang sudah semakin paham riset sehingga tidak terjebak pada pengambilan sampel yang salah.

Marketer yang baik akan senang dengan riset. Apalagi riset yang benar banyak menuntun mereka pada strategi yang lebih tepat sasaran. Selama lebih dari 12 tahun berkecimpung dalam dunia riset pemasaran, saya selalu senang membaca data yang bisa menuntun kita dalam pengambilan keputusan. Banyak sekali keputusan strategis diambil karena hasil sampling survei dan terkadang mengubah angin persaingan di industri mereka. Kelompok pasar khusus yang ternyata punya potensi besar untuk digarap, positioning yang membuat merek bisa “menendang” pesaing, perbaikan atribut produk yang akhirnya mendorong penjualan, dan lain-lain. Mata kita bisa terbuka oleh hanya satu buah angka dari sampling survei. Termasuk tentunya, kisah sedih manakala hasil riset menunjukkan bahwa merek kita lebih baik mundur dari persaingan.

Hanya saja, terkadang orang yang harus menerima kenyataan buruk dari hasil survei selalu mengungkit-ungkit metodologi survei yang diambil, termasuk juga dalam pengambilan sampel. “Sampelnya kok kecil banget ya, apa ini mewakili pasar kita?” begitu kira-kira pertanyaan mereka.

Buat sebagian orang yang tidak memahami riset, populasi besar berarti sampel juga harus lebih besar. Kita harus mengambil sampel lebih besar di Jakarta daripada di Medan karena penduduk Jakarta lebih banyak dari di Medan. Atau kita harus mengambil 4 kali lipat sampel pengguna sepeda motor karena populasinya lebih besar dari pengguna mobil.

Dalam teori statistik dan buku-buku riset pemasaran, tidak ada yang mengajarkan bahwa jumlah sampel yang diambil berbanding lurus dengan populasi. Tidak ada juga yang mengajarkan bahwa sampel harus besar. Teori hanya menekankan salah satunya pada homogenitas. Semakin homogen sebuah populasi, sampel yang diambil pun tidak perlu banyak. Namun tentu saja, semakin heterogen populasi, sampel yang diambil pun harus makin banyak. Ibaratnya kita mau mengambil secara acak seseorang di sebuah kelas yang semua orangnya keriting. Anda hanya perlu mengambil satu-dua orang saja sudah pasti mendapatkan orang keriting.

Itulah dahsyatnya sampel. Dengan jumlah yang sedikit, asal pengambilannya tepat bisa mengestimasi data populasi mendekati kenyataan. Termasuk dengan quick count yang akhirnya banyak memenangkan pasangan tertentu. Dahulu pasangan yang kalah selalu menuduh quick count tidak memiliki metodologi pengambilan sampel yang tepat. Sampel kebanyakan diambil di kelompok orang-orang yang memang memilih si pemenang. Bahkan tuduhan survei pesanan pun muncul.

Namun, sekarang ini kelompok yang kalah sudah bisa lebih menerima kekalahan sebelum perhitungan Pilkada sebenarnya berakhir. Mereka semakin sadar bahwa sampling survei pun bisa mendekati kenyataan. Memang survei juga punya kelemahan, termasuk terjadinya prediksi yang salah saat survei dilakukan sebelum Pilkada DKI, yang memenangkan pasangan Foke-Nara. Namun, survei membuat Anda lebih nyaman bertindak sebelum kehabisan energi dan uang. (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.