Social Media Measurement

Salah satu hambatan yang besar bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan investasi dalam mengadopsi media sosial adalah pengukuran. Sebagian dari manajemen puncak masih meragukan kemampuan social media dalam menciptakan awareness, brand image, atau membantu pertumbuhan penjualan. Perusahaan-perusahaan seperti ini masih sangat mengandalkan media-media konvensional yang memang sampai hari ini masih memberikan dampak yang besar.

Ada juga perusahaan yang tidak mengukur efektivitas social media karena mereka berpikir bahwa semuanya ini adalah gratis atau untuk saat ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia hanya mengeluarkan bujet untuk social media dalam jumlah kecil. Inilah alasan kedua mengapa banyak perusahaan masih tidak memerhatikan masalah pengukuran efektivitasnya. Toh dengan biaya kecil, kesalahan yang dibuat tidak terlalu berisiko. Padahal, siapa bilang social media gratis? Paling tidak, dalam skala kecil, perusahaan sudah harus memiliki staf untuk memelihara akun social media mereka. Bahkan di masa mendatang, perusahaan-perusahaan akan dipaksa oleh perusahaan-perusahaan social media untuk membayar. Mencari follower dan fans yang baru akan semakin sulit. Perusahaan juga semakin menyadari bahwa mereka perlu target pasar yang lebih tepat. Pada akhirnya, mereka memilih untuk membayar kepada perusahaan social media.

Bisa juga karena memang perusahaan tidak memahami alat pengukuran dalam bidang social media. Inilah alasan ketiga yang membuat perusahaan tidak melakukan pengukuran. Maklum, pengukuran dalam bidang social media ini benar-benar relatif baru. Di sekolah-sekolah bisnis yang biasa memproduksi gelar MBA juga belum diajarkan.

Selama satu tahun terakhir ini, pengukuran terhadap efektivitas social media menjadi salah satu topik yang menarik perhatian para praktisi media sosial. Berbagai alat pengukuran yang sederhana hingga alat pengukuran yang sophisticated telah beredar. Di satu sisi, semuanya ini sungguh berguna. Hanya saja, yang menjadi tantangan bagi para CEO dan CMO adalah mengintegrasikan keseluruhan alat-alat ukur ini.

Pengukuran dan Tingkat Manajemen

Kalau kita bertanya kepada para marketer yang masih menjabat sebagai staf promosi atau staf dalam suatu divisi komunikasi mengenai cara-cara yang baik untuk mengukur efektivitas dari social media, mereka akan segera mengatakan bahwa alat ukur dari social media adalah hal-hal seperti berapa jumlah follower dari akun Twitter milik perusahaan, berapa penambahan follower-nya, berapa jumlah fans dari akun Facebook, berapa yang aktif memberi komentar, berapa jumlah visit dari web yang masuk melalui akun Facebook atau Twitter, dan lain-lain. Mereka sangat tertarik dengan pengukuran-pengukuran yang bersifat taktis dan program jangka pendek. Tidak mengherankan, para marketer muda akan terbiasa dengan berbagai pengukuran seperti tweetreach.com, twettgrader.com, alexa.com, dan sejenisnya.

Bila pertanyaan yang sama diajukan kepada para manajer pemasaran atau manajer komunikasi, mereka akan tertarik untuk menghitung biaya dan manfaat yang diperoleh. Mereka akan mempelajari mengenai cost per mille (CPM), click through Rate (CTR), atau cost per click (CPC). Berapa biaya yang dibutuhkan untuk menjangkau 1.000 audiens? Bagaimana biaya per impresi dari Facebook dibanding dengan biaya per exposure dari iklan spot televisi? Berapa tingkat CTR dari sebuah ad banner? Apakah pay per click yang dibayarkan oleh sebuah perusahaan melalui Google Ad Words lebih efektif dari iklan di media cetak? Bagaimana pengalaman dan keterlibatan konsumen dengan social media?

Salah satu pengukuran strategis yang mulai menarik perhatian adalah yang berhubungan dengan mention di social media. Beberapa software yang sudah banyak beredar di pasaran dapat membantu perusahaan untuk mengukur mengenai positive mention, neutral atau negative mention dari semua percakapan konsumen di social media. Ini sangat penting untuk membangun merek sebuah perusahaan dibandingkan dengan merek-merek lain yang menjadi pesaingnya. Apa yang dikatakan oleh para konsumen di social media dapat dijadikan acuan yang cukup akurat terhadap penjualan dan pangsa pasar merek tersebut di masa mendatang.

Tidak akan lama lagi, perusahaan-perusahaan Indonesia akan terbiasa dengan pengukuran-pengukuran mention semacam ini. Melalui pengukuran yang bersifat terus-menerus, perusahaan mampu melacak pergerakan naik atau turunnya kekuatan sebuah merek. Merek-merek yang mempunyai tingkat intensitas mention yang tinggi dan lebih positif dari merek-merek pesaing sudah memberikan gambaran bahwa merek tersebut memiliki brand image yang kuat dan tingkat loyalitas yang tinggi. Konsumen yang memberikan positive mention adalah konsumen yang puas dan loyal. Itulah sebabnya, mereka dengan suka rela memberikan efek viral yang positif buat merek tersebut.

Sebagai manajer, ini adalah pengukuran yang penting karena menyangkut konsumen yang menjadi aset bagi sebuah merek. Pengalaman konsumen, keterlibatan konsumen, dan efek viral dari konsumen ini akan sangat memengaruhi tingkat loyalitas konsumen. Dan kesemuanya ini sudah pasti akan berpengaruh terhadap penjualan, pangsa pasar, dan profitabilitas perusahaan.

Lalu, bagaimana kalau pertanyaan yang berhubungan dengan pengukuran efektivitas social media ini ditujukan kepada para CEO atau CMO? Saya yakin, mereka akan tertarik dengan pengukuran seperti ROI atau return on investment. Para CEO dan CMO ini sudah biasa berpikir mengenai investasi dan return. Maka setiap aktivitas social media haruslah dilihat sebagai sebuah investasi yang perlu diukur tingkat return-nya. Kalau mereka mengeluarkan uang yang besar untuk mengembangkan social media, apakah memang menghasilkan ROI yang tinggi?

Memang, social media dapat dikatakan adalah sebuah media baru. Sebuah media yang memiliki kekuatan besar di masa mendatang. Inilah media di mana setiap merek mendapatkan kesempatan untuk memiliki media sendiri. Selain itu, kemampuannya untuk mengajak konsumen berpartisipasi atau yang biasa disebut consumer generated content akan memiliki daya komunikasi yang menjadi efisien, cepat, dan real time.

Pengukuran ROI terhadap social media ini prinsipnya tetap sama. Tidak mengubah formulasi dari ROI itu sendiri. Perhitungan ROI, sama seperti untuk semua biaya komunikasi dan promosi adalah selisih antara hasil investasi dikurangi dengan biaya investasi untuk komunikasi, dibagi dengan total investasi untuk komunikasi. Sederhananya, bila perusahaan mengeluarkan biaya komunikasi sebesar Rp 10 miliar dan kemudian gain yang diperoleh adalah Rp 15 miliar, maka ROI adalah (Rp 15 M – Rp 10 M) / Rp 10 M = 50%. Bisa diduga, maka tingkat kesulitan menentukan besarnya gain yang diperoleh oleh sebuah merek.

Bila perusahaan memiliki perspektif jangka pendek, maka besarnya gain adalah sama dengan profit yang dihitung dari suatu periode tertentu. Bila ternyata tujuan komunikasi adalah untuk membangun merek dalam jangka panjang, maka yang disebut dengan gain adalah total profit selama periode tertentu ditambah dengan kenaikan ekuitas merek sebagai akibat aktivitas komunikasi tersebut.

Pendekatan Praktis

Kehadiran social media ini harus dilengkapi dengan mindset yang baru. Prinsip pengukuran tetap sama, tetapi media ini menawarkan terminologi yang baru. Selain itu, bagi setiap perusahaan, mereka perlu memikirkan tanggung jawab yang berbeda untuk setiap jenjang yang berbeda.

Pada tingkat staf hingga supervisor, pengukuran setiap program dari social media menjadi tanggung jawab utamanya. Mereka harus menambah database pelanggan yang bisa diakuisisi dari akun social media yang mereka bentuk. Mereka bertanggung jawab terhadap program-program aktivitas yang bersifat operasional. Pada tingkat manajer, pengukuran-pengukuran yang berhubungan dengan dampak terhadap citra dan loyalitas merek harus menjadi fokus utamanya.

Para CEO dan CMO diharapkan dapat melakukan pengukuran yang berhubungan dengan tujuan dari bisnis perusahaan. Mereka melihat dampak dari social media terhadap penjualan mengalami perubahan terhadap brand equity dan customer lifetime value serta berakhir terhadap ROI dari social media ini sendiri.

Apa yang bisa dilakukan perusahaan untuk mulai pengukuran? Secara praktis, pertama, saya menyarankan agar perusahaan menggabungkan apa saja yang dapat diukur dan apa saja yang seharusnya diukur oleh perusahaan. Tim pemasaran harus membuat semua list pengukuran social media, mulai yang bersifat program hingga yang bersifat strategis. Setelah itu, CMO harus mulai memikirkan hal-hal yang harus diukur. Bila peran social media sudah semakin besar, mereka harus melihat dampaknya terhadap konsumen. Bila sudah mencapai skala tertentu, maka pengukuran yang lebih canggih haruslah mulai dirumuskan.

Kedua, proses pembelajaran adalah hal yang kritikal. Bila semua alat pengukuran telah dipilih, maka sebaiknya dipertahankan agar sebuah merek dapat dilihat perkembangannya dari waktu ke waktu. Lebih baik mempertahankan satu atau dua alat ukur yang baik daripada terlalu cepat mengganti-ganti dengan alat ukur lain yang akhirnya menyulitkan mengambil kesimpulan. Tentunya, perusahaan juga harus semakin terbuka untuk metode-metode pengukuran yang baru, yang mungkin akan lebih memperkaya proses pembelajaran terhadap efektivitas social media. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.