Stand Up Comedy, Panggung Retorika yang Tidak (Belum) Basi

Panggung hiburan yang satu ini sedang naik daun. Programnya menjadi primadona baru stasiun TV. Tapi awas, kejenuhan biasanya mengintai ketika popularitas tengah memuncak.

Stand up comedy, hiburan ini tengah digandrungi anak-anak muda imbas dari penayangannya di beberapa stasiun TV. Metro TV dan Kompas TV adalah dua stasiun TV yang berjasa memperkenalkan genre komedi ini kepada pemirsa. Belakangan stand up comedy juga ditayangkan Indosiar, RCTI, dan MNC TV.

stand up comedyMenurut Wikipedia, stand up comedy adalah salah satu genre komedi yang dibawakan secara tunggal di atas panggung. Pertunjukan stand up comedy biasanya dibawakan secara langsung (live) di hadapan penonton dengan cara monolog. Komedi macam ini sebenarnya dekat dengan budaya Indonesia. Bukankah dongeng atau cerita rakyat disampaikan secara turun-temurun dengan tradisi lisan? Dahulu sewaktu kecil kita sering mendengar dongeng pengantar tidur dari orang tua.

Stand up comedy menjadi primadona karena menampilkan sesuatu yang baru di panggung dagelan. Kalau mau jujur, panggung dagelan di TV belakangan ini seperti mengalami degradasi, yang sering muncul lawakan bernada menghina atau merendahkan orang. Pemirsa juga kerap disuguhi program acara yang konsepnya kabur. Acara musik, namun para host-nya sepanjang acara saling lempar joke yang kurang lucu.

Jika melihat tayangan stand up comedy di TV, cerita yang disampaikan terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, justru di sini letak keunggulannya, stand up comedy seperti memberi oase di tengah gempuran sinetron berisi cerita yang jauh dari realitas kehidupan pemirsanya.

Dalam stand up comedy, seorang komika (sebutan untuk orang yang menekuni profesi stand up comedy) menjadi tokoh sentral yang berbagi cerita. Penontonnya bisa tersenyum simpul atau tertawa terpingkal-pingkal karena seorang komika andal memberikan punchline (bagian lucu dari cerita) yang terkadang di luar nalar orang kebanyakan.

Mengenai hal ini Raditya Dika ketika menjadi juri kontes stand up comedy di salah satu TV mengatakan, stand up comedy merupakan seni untuk mematahkan ekspektasi orang lain yang ditampilkan di akhir sebuah premis (kata pengantar untuk membimbing penonton ke arah joke tertentu).

Penonton bisa terhibur karena sejatinya mereka sedang menyaksikan drama, bukan mendengarkan cerita. Menurut Erving Goffman, salah satu pakar sosiologi terkenal abad ke-20, orang-orang dalam pertemuan tatap muka saling bergantian menghadirkan drama. Jika kita membaca cerita, maka kita terlibat dalam penggambaran dramatis untuk menghadirkan pandangan khusus tentang diri sendiri.

Lebih jauh Goffman mengatakan, ketika manusia berbicara kepada orang lain sebenarnya ia tidak sedang berbagi informasi kepada lawan bicara, tetapi menghadirkan drama kepada pendengarnya. Hal ini menandakan bahwa manusia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidak terlibat dalam pemberian informasi, tapi dalam pemberian pertunjukan.

Dalam konteks stand up comedy, seorang komika sejatinya sedang menampilkan drama penuh humor kepada audiensnya. Komedi ini sebenarnya juga bagian dari seni retorika. Sayangnya di kalangan anak muda, kata retorika cenderung diabaikan karena mengalami degradasi makna. Retorika dianggap hanya pidato berapi-api tanpa makna. “Ah, retorika,” demikian ungkapan yang sering kita dengar.

Setidaknya ada lima hukum retorika yang terkandung dalam stand up comedy. Pertama, memory yang berarti cerita harus terekam kuat dalam ingatan permisa. Kedua, invention. Stand up comedy harus menampilkan lelucon baru yang segar. Ketiga, delivery yaitu kemampuan untuk menyampaikan pesan. Keempat, style, gaya unik yang dikembangkan komika. Kelima, arrangement yakni kemampuan untuk menyatukan, mengintegrasikan, dan merangkul audiens yang beraneka ragam. Jelas sudah stand up comedy tidak sekadar urusan cuap-cuap di depan mikrofon.

Stand up comedy menjadi bagian dari budaya populer (pop culture) karena ditayangkan di televisi dan disaksikan berjuta-juta pasang mata. Televisi sendiri merupakan bagian penting dari industri pop culture karena pengaruhnya yang besar dalam mengarahkan selera masyarakat atau menciptakan tren di masyarakat.

Lahan Persaingan Baru Stasiun TV

Minat yang besar menonton stand up comedy di televisi membuat program ini memperoleh rating tinggi. Seperti pepatah ada gula ada semut, pengiklan pun ramai-ramai mensponsori program ini. Dampak lanjutannya, stasiun TV yang sebelumnya tidak tertarik dengan program stand up comedy akhirnya ikut juga menayangkan. Stand up comedy pun menjadi produk pop culture yang diperebutkan banyak stasiun televisi.

Terkait hal tersebut, salah satu pelopor stand up comedy Iwel Sastra dalam blog pribadinya menulis, sukses di Indosiar dalam perolehan rating dan share membuat MNCTV dan RCTI ikut menayangkan stand up comedy. Padahal program stand up comedy sudah dimulai sejak tahun 2011. “Mungkin karena yang baru berani menayangkan adalah TV berita dan TV berjaringan, sehingga TV hiburan nasional memilih posisi wait and see,” tulis Iwel.

Komika senior Pandji Pragiwaksono punya cerita unik setelah stand up comedy banyak ditayangkan stasiun TV. Dalam situs pribadinya Pandji.com, ia berbagi cerita kekesalannya karena ada yang menanyakan apakah dia seorang komika Kompas TV atau Metro TV.

“Pertanyaan itu bikin saya kesal bukan main. Metro TV dan Kompas TV bukanlah pemilik stand up comedy. Setiap komika berdiri independen,” tulis Pandji. Menurut dia, stand up comedy seperti seni musik yang tidak ada pemiliknya. Bagi Pandji, semakin banyak TV yang menyiarkan, memberi ruang yang banyak pula bagi komika untuk berekspresi.

satnd up comedyHanya saja yang patut diwaspadai adalah kejenuhan dan penurunan kualitas stand up comedy sebagaimana sinyalemen komika Ernest Prakasa, ketika MARKETING menanyakan sampai kapan fenomena ini akan berlangsung. “Saya tidak tahu sampai kapan, tapi sebentar lagi kayaknya, bukan saya pesimistis, karena saya melihat titik klimaks stand up ini sudah lewat,” katanya.

Ernest khawatir semakin banyak TV menayangkan, justru menjadi bumerang yang akan menurunkan pamor stand up comedy. Tapi, ini katanya menjadi tantangan bagi dia dan komika lain untuk membuat materi-materi baru agar tren stand up comedy tetap stabil.

Seperti pop culture lainnya, stand up comedy menghadapi tantangan selera masyarakat yang cepat berganti dan mudah jenuh. Tapi, semua ini terpulang pada kemampuan para komika untuk terus menampilkan joke yang baru dan kontekstual. Sayang rasanya jika stand up comedy yang selama ini menampilkan joke-joke segar dan cerdas menjadi cepat basi, karena ketidakmampuan para komika menggali hal-hal baru. Alasannya sederhana, karena kita selalu butuh dagelan dalam hidup ini.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.