State–Owned Brand

www.marketing.co.id – Berita apa yang Anda dengar akhir-akhir ini tentang state-owned brand atau yang disebut dengan merek-merek, atau perusahaan yang dikelola oleh negara? Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah gebrakanyang dilakukan oleh Dahlan Iskan, menteri badan usaha milik negara (BUMN) yang baru. Di pintu tol Semanggi, tiba-tiba Dahlan membuka paksa dua pintu yang tutup dan mempersilakan pengguna jalan tol memasukinya secara cuma-cuma. Sekitar100 kendaraan mendapat bonus atas aksi itu. Dahlan merasa harus turun ke jalan dan melakukan tindakan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah itu karena adanya kemacetan luar biasa akibat tak dibukanya dua pintu dari empat pintu yang ada.

Dahlan pun pernah naik kereta rel listrik dari Jakarta menuju Bogor untuk menghadiri rapat kabinet di Istana Bogor. Sekali jalan, ia sekaligus ingin memerhatikan kinerja PT Kereta Api Indonesia yang juga berada di bawah koordinasi Kementerian BUMN yang dipimpinnya. Untuk melihat kinerja PT Perumnas, ia melakukan inspeksi mendadak ke Sentra Timur Residence, sebuah apartemen murah di Jakarta Timur, yang menjadi program pemerintah. Diluar itu, ia dikabarkan pernah menginap di rumah seorang petani miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengetahui perkembangan harga beras dan keluh-kesah para petani.

Dahlan memang seorang praktisi bisnis dari Jawapos Group, bukan birokrat. Ia wartawan yang kritis, juga pengusaha yang mahir membangun perusahaan. Surat kabarnya hampir bisa ditemui tidak hanya di kota-kota provinsi, tapi menyebar di wilayah-wilayah kabupaten. Perusahaan listrik pun ia miliki, yang kemudian mengantarkannya menduduki jabatanDirektur Utama PT Pembangkit Listrik Negara (PLN), sebelum dilantik menjadi menteri BUMN. Aksi-aksi yang ditunjukkan Dahlan telah mencerminkan bahwa begitulah kalau wartawan diberi kedudukan, kekritisannya akan bisa diejawantahkan secara langsung tanpa penghalang.

Dalam tulisan ini, Dahlan memang menarik. Tapi, ada satu titik temu yang perlu ditarik kesimpulan bahwa state-owned brand kita masih banyak yang mesti dipoles kinerjanya. Terlalu banyak rambu-rambu, terlalu banyak birokrasi yang harus dilalui, minimnya modal untuk ekspansi usaha, dan lain-lain menjadi faktor-faktor yang membuat perusahaan BUMN tak kompetitif dibanding dengan perusahaan swasta. Bayangkan, perusahaan ritel Sarinah yang sudah berumur 50 tahun, hampir tak dikenal pasar kecuali gedungnya di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Sarinah itu apa, mayoritas penduduk Jakarta—kalau mau lebih luas lagi Indonesia—banyak yang tidak tahu. Padahal, Sarinah memiliki peran yang luar biasa dalam percaturan ritel Tanah Air.

Sarinah merupakan perusahaan ritel, perdagangan, dan properti yang didirikan setengah abad yang lalu oleh Soekarno, presiden pertama RI. Harus diakui, state owned brand ini berkinerja tak maksimal karena belenggu-belenggu yang ada. Kita bisa membayangkan, di tengah membanjirnya peritel-peritel besar—baik lokal maupun asing, Sarinah masih tetap sama seperti beberapa puluh tahun lalu, menjajakan produk usaha kecil menengah, dan “berteduh” di gedung kecil nan usang. Dalam teori memaksimalkan fungsi properti, langkah Sarinah jelas sudah tidak tepat.

Tapi, kabar terbaru, Sarinah hendak merevitalisasi diri. Jika benar, itu merupakan angin segar bagi kita semua karena kita butuh bendera yang mewakili negara dikancah bisnis ritel. Bulan April lalu, perusahaan yang hanya memiliki cabang di Jakarta, Batam, Malang, Semarang, dan Yogyakarta ini telah meluncurkan mereknya sendiri, yakni “Mea”, sebuah produk fashion untuk wanita yang mencampurkan modernitas dan etnik. Perusahaan ini pun sedang merancang master plan untuk merevitalisasi gedung lama menjadi sebuah superblok selayaknya Senayan City, Thamrin City, Kuningan City, dan lain sebagainya.

Tentu saja bukan hanya Jasa Marga, Perusahaan Kereta Api, dan Sarinah yang perlu dibenahi kinerjanya. Masih banyak state-owned brand yang berstatus pelat merah lainnya bernilai merah. Garuda Indonesia, misalnya, akhirnya bisa meraup untung setelah ditransformasi bisnisnya. Namun rekan sejawatnya, Merpati Nusantara Airlines, masih tetap “hidup segan mati tak mau”. Pos Indonesia barangkali masih bisa dimaksimalkan lagi potensinya untuk melawan semakin kokohnya perusahaan kurir swasta seperti TIKI, JNE, RPX, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan Dahlan Iskan-Dahlan Iskan lainnya untuk mengubah buruknya kinerja state-owned brand menjadi pemain yang kompetitif. Perlu tekad bersama dalam jangka panjang demi menyulap perusahaan-perusahaan milik negara ini menjadi lebih perkasa dan disegani seperti kekuatan Temasek dari Singapura, Petronas dari Malaysia, dan lain sebagainya. Hilangkan budaya pengurusan berbelit-belit dan ubah mind set seperti perusahaan swasta. Dengan begitu, merek-merek tersebut akan meraksasa. Rahasia besar Dahlan Iskan adalah consistent and persistent action, suatu kerja nyata yang konsisten dan berkesinambungan sampai terwujudnya suatu tujuan. Ada tiga tahapan dalam persistent and consistent action:

  • pertama, tindakan awal, yaitu keputusan yang diambil untuk memulai petualangan sukses Anda;
  • kedua, tindakan konsisten yang diwujudkan dalam bentuk self-discipline;
  • ketiga, tindakanyang secara terus-menerus (persistent) sampai terwujudnya tujuan yang kita inginkan.

Apa pun yang Anda rencanakan dan sehebat apa pun sasaran Anda, tanpa consistent and persistent action semuanya akan sia-sia. Buat Pak Dahlan, ingatlah pidato Winston Churchill, “Never…, never…, never give up.” Jangan takut diinterpelasi, karena negara membutuhkan Anda agar state-owned brand menjadi merek yang mempunyai ekuitas yang kuat. (Darmadi Durianto)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.