Status Sosial Konsumen

Setiap kali memandangi dompet Anda, barangkali Anda mulai merasakan bahwa dompet itu semakin lama semakin kekecilan. Bukan karena jumlah uang Anda semakin banyak disimpan dalam dompet, tetapi lantaran semakin banyaknya kartu yang harus Anda masukkan ke dalam dompet.

Tanpa diminta, kadang-kadang sudah ada kartu kredit baru di meja Anda. Nama Anda sudah tertera dan Anda tinggal menandatanganinya jika mau. Setiap kali Anda makan, Anda terkadang jengkel karena kartu kredit A lebih banyak memberikan diskon dibandingkan kartu B. Itu membuat Anda harus menyiapkan minimal dua kartu kredit supaya peluang untuk mendapatkan diskon jadi lebih besar. Kalau Anda rajin memakai kartu kredit ini dan rajin membayar, tiba-tiba saja Anda mendapatkan kartu platinum dan kartu gold Anda masih bisa dipakai.

Kita lama-lama akan hidup di “card society”. Masyarakat yang mulai hidup dengan uang kuasi (semu). Hidup tanpa uang yang riil. Anda membayar dengan kartu kredit dan membayar tagihan kartu kredit dengan kartu ATM. Membayar parkir dengan electronic card.

Pada akhirnya, seperti apa kartu yang Anda miliki akan menentukan siapakah diri Anda. Golongan masyarakat akan terbentuk oleh kartu silver, gold dan platinum. Pada saat kelompok gold menjadi kurang eksklusif, maka dibuatlah kelompok platinum. Hebohnya, sekarang ini ada lagi yang menciptakan kelompok titanium. “Kasta”-nya mungkin lebih tinggi dari kartu platinum.

Di dalam masyarakat, ada kelompok sosial. Ada kelompok petani, tuan tanah, dan bangsawan. Ada kelompok miskin dan kaya. Ada kelompok kelas bawah, menengah, dan atas. Namun orang-orang marketing suka membentuk strata sosialnya sendiri. Perbedaan karakter sosial semakin lama semakin terfragmentasi bukan hanya oleh jumlah uang yang dimiliki, tetapi oleh gaya hidup. Termasuk kartu apa yang Anda miliki.

Ada pengukuran sosial economic status (SES) yang biasa dipakai untuk acuan sebuah survei ataupun pembuatan kebijakan. Ada kelompok SES A,B,C,D, sampai E. Pengukuran BPS (Biro Pusat Statistik) menempatkan range pengeluaran di atas Rp 2.500.000 sebulan sebagai kelompok SES tertinggi. Namun, pada masa sekarang, mereka yang pengeluaran sebulannya di atas angka tersebut sudah terlalu banyak. Apalagi kehadiran industri consumer credit seperti kartu kredit membuat mereka bisa berbelanja lebih banyak dari kemampuan daya beli income mereka. Maka, kemudian ada kelompok A+ dan A++.

Sekarang ini orang-orang marketing sering bingung mendefinisikan kelompok strata sosial sebagai target market. Itu karena perbedaan gaya hidup yang semakin beragam yang mungkin tercipta pada satu strata. Tapi, yang lebih membuat semakin ruwet sebenarnya adalah keinginan menciptakan diferensiasi yang terus-menerus. Ada produk yang menyasar kelompok SES B dan A. Ada produk yang menyasar ke kelompok SES B+, A dan A+. Ada yang menyasar kelompok A++ dan mungkin A+++.

Di dunia kartu kredit, dulu orang bangga memakai kartu gold karena memiliki kemampuan berbelanja sampai 10 juta rupiah. Tapi ada pemasar kartu kredit lain (supaya menciptakan kebanggaan bagi para nasabahnya) sudah bisa memberikan kartu gold sekalipun cuma diberi batas kredit sampai 8 juta rupiah. Platinum dulu hanya bisa dimiliki oleh kalangan-kalangan terbatas. Sekarang ini seorang staf senior tiba-tiba sudah mendapatkan kartu platinum di meja kerjanya.

Jadi, strata sosial kini memang semakin sulit untuk ditentukan batas-batasnya. Itu karena setiap marketer ingin menciptakan strata sosialnya sendiri-sendiri. Dua kelompok dengan pendapatan yang jauh berbeda tiba-tiba masuk golongan yang sama karena punya golongan kartu yang sama. Pada akhirnya, konsumen akan bingung, sebetulnya mereka ini masuk golongan mana? (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.