Steve Jobs: Connecting the Dots

Marketing.co.id- Pada tanggal 12 Juni 2005, Steve Jobs berdiri dan mengucapkan pidato di acara wisuda di Stanford University. Sebuah pidato sederhana yang kemudian menjadi salah satu pidato yang sangat banyak dibahas di seluruh dunia. Bahkan saat pengumuman atas kematiannya, video dari pidato Steve Jobs inilah kemudian yang banyak diputar ulang oleh CNN.

Maklum, isi pidato ini memiliki banyak dimensi dan makna yang mendalam. Pertama, ini menjadi sebuah biografi singkat dari Steve Jobs. Cerita mengenai kelahiran dan adopsinya, ketika muda dan mulai mendirikan Apple, kemudian keluar dari Apple tahun 1985, kembali ke Apple tahun 1995, dan kisah sukses Apple setelah itu.

Kedua, kegigihan Steve Jobs dalam menghadapi penyakit kanker pankreas yang dideritanya sejak akhir tahun 2003. Ditambah dengan faktor keberuntungan, penyakit pankreas yang dideritanya ternyata bisa diatasi, padahal dokter memperkirakan usianya tinggal 3–6 bulan. Kisah kehidupan ini tentunya menjadi bumbu dramatis bagi siapa pun yang ingin mendengar kisah hidupnya.

Ketiga, di tahun 2005, Apple, perusahaan yang dia pimpin kembali sejak tahun 1998, menunjukkan sinarnya. Perusahaan yang pernah menjadi perusahaan yang memiliki pertumbuhan tercepat di awal tahun 1980 dari daftar Fortune, kemudian nyaris bangkrut, mampu bangkit kembali dengan cara-cara yang mengagumkan. iPod yang diluncurkan tahun 2001 mencapai puncaknya di tahun 2005 dengan pangsa pasar sebesar 75%. Demikian pula, produk Mac mulai bangkit kembali dan Apple Retail Store menunjukkan pertumbuhan yang pesat.

The Dots

Satu dari tiga cerita yang dipresentasikan oleh Steve Jobs adalah cerita yang dia beri judul “Connecting the Dots”. Cerita sederhana tapi sungguh inspiratif. Ketika Steve Jobs lahir, ibu biologisnya, Joanne Simpson, ingin menyerahkannya kepada orangtua yang lulusan universitas. Paul dan Clara Jobs, orangtua yang mengadopsi Steve Jobs, ternyata bukan lulusan universitas, dan bahkan Paul Jobs tidak pernah selesai bangku SMA. Joanne akhirnya setuju menyerahkan Steve kepada Paul dan Clara setelah mereka berjanji akan menyekolahkan Steve Jobs ke college ketika dewasa.

Pada usia 17 tahun, Steve Jobs memang akhirnya ke college dan memilih Reed College. Sebuah college yang sangat mahal untuk ayahnya yang hanya bekerja sebagai montir dan ibunya yang hanya sebagai tenaga pembukuan. Hanya kuliah enam bulan, akhirnya dia memilih untuk keluar sekolah. Steve tidak melihat adanya nilai yang berharga dengan duduk di bangku sekolah. Akhirnya, dia memilih untuk keluar dari bangku kuliah.

Walaupun demikian, dia gigih untuk bisa minta duduk di bangku kuliah selama tiga semester untuk belajar satu mata kuliah, yaitu kaligrafi. Dari bangku kuliah ini, ketertarikan terhadap font menjadi luar biasa. Dia mulai mengenal sejarah font seperti serif dan san-serif. Kecintaannya terhadap font inilah yang akhirnya mengubah hidupnya melalui Apple, perusahaan yang dia dirikan bersama Steve Wozniak.

Kelebihan produk-produk Apple adalah kemampuan font dan grafisnya yang jauh melampaui para pesaingnya. Saat Apple II diluncurkan pada tahun 1978, kemudian menjadi simbol revolusi produk personal computer, banyak pengguna Apple sangat tercengang dengan kemampuan grafisnya. Inilah citra yang kemudian melekat pada produk-produk Apple. Apple adalah produk dengan font-font yang indah dan kemampuan grafis yang indah.

Memang ada beberapa faktor lain yang membuat Apple ini menjadi sukses. Salah satunya adalah program spreadsheet pertama VisiCalc. Mereka yang bekerja di bagian keuangan tiba-tiba melihat manfaat yang luar biasa dengan adanya spreadsheet ini. Faktor lain yang membuat Apple sukses adalah kemampuannya untuk bisa dihubungkan dengan televisi dan banyaknya aplikasi dan peranti lunak lainnya yang dapat ditambahkan.

Ketika Apple sudah mulai rontok karena diserang oleh IBM, citranya sebagai perusahaan hebat sudah mulai pudar. Yang masih bertahan adalah citranya sebagai personal computer yang digunakan oleh mereka yang menginginkan keindahan. Tidak mengherankan, produk-produk Mac akhirnya banyak digunakan untuk mereka yang berkecimpung dalam desain kreatif dan Mac menjadi kategori sebagai desktop publishing.

Sejalan dengan pulihnya Apple di tahun 2001, produk kedua yang kemudian bangkit adalah Mac. Mereka yang mencintai Mac atau Macintosh sebelumnya, kemudian menjadi loyalis yang ikut memengaruhi pengguna PC lainnya. Ketika Apple membuka Apple Store dan membuat satu sudut yang diberi nama Genius Bar, kelompok loyalis inilah yang kemudian mengukuhkan citra Apple sebagai produk dengan kemampuan grafis yang terbaik. Mereka menyukai datang ke Apple Store, bermain di Genius Bar atau mencari sesuatu yang baru dari Apple, dan sekaligus sebagai ambassador produk Apple untuk pengguna PC yang lebih awam.

Kecintaan terhadap font dan keindahan inilah yang membuat Steve Jobs tertarik untuk membeli perusahaan Pixar Studio dan tangan produser Hollywood kondang, George Lucas, dengan harga US$ 10 juta. Setelah sukses meluncurkan film animasi seperti Toy Story dan Finding Nemo, Pixar menjadi perusahaan dengan nilai tinggi. Di tahun 2005, Pixar Studio dibeli oleh Disney dengan harga lebih dari US$ 7 miliar, Steve Jobs menjadi pemegang saham individu terbesar di Disney dengan nilai saham lebih dari 7%.

Babak akhir dari produk-produk Apple, seperti iPad, akhirnya membuat Apple menjadi perusahaan dengan nilai kapitalisasi terbesar di Amerika, jauh melampaui rivalnya seperti IBM, Microsoft, HP, ataupun Dell Computer. Ketika mendekati ajalnya, Steve Jobs membuat sebuah pernyataan atau kesimpulan, “…sukses dari Apple adalah karena perusahaan ini mencintai keindahan.” Akhirnya, dot atau titik yang dimulai dari belajar kaligrafi terhubung dengan deretan kesuksesan. Dot atau titik ini, baru pertama kali terlihat setelah 10 tahun kemudian.

Inspirasi Bagi Marketer

Connecting the Dots adalah jargon yang sederhana. Mungkin karena diucapkan oleh Steve Jobs, maka menjelma menjadi daya tarik yang luar biasa. Ini jelas memberi inspirasi kepada generasi muda di seluruh dunia. Lebih baik melakukan sesuatu yang benar-benar kita sukai. Tetapi, pernyataan seperti ini tidak cukup. Ada banyak yang kita sukai, tetapi belum tentu memberi nilai tambah di kemudian hari. Diperlukan visi untuk melihat apa yang akan berguna di masa mendatang. Connecting the Dots memang baru dapat dibuat dengan melihat masa lalu. Karena itu, dibutuhkan kombinasi antara determinasi dan visi ke depan.

Para marketer terutama generasi muda, harus mengasah kemampuan mereka untuk bidang-bidang tertentu saja. Lebih baik untuk hebat di salah satu bidang daripada baik untuk banyak bidang. Sedikit lebih baik dari orang lain untuk banyak bidang, sering kali tidak memberikan nilai tambah besar di kemudian hari. Hebat di salah satu bidang terbukti menjadi faktor kesuksesan yang lebih besar.

Dengan perkembangan teknologi digital yang sangat cepat, marketer muda perlu untuk mengasah kemampuannya. Ada banyak kesempatan yang kelak akan muncul. Musik misalnya, adalah industri yang besar. Teknologi sehebat apa pun tidak akan mengubah esensi kecintaan manusia terhadap musik. Hanya saja, teknologi yang akan mengubah cara dan pengalaman dalam mendengar musik.

Cerita ini juga bukan hanya untuk marketer secara pribadi, tetapi juga untuk para pelaku bisnis dalam membangun usahanya. Perusahaan harus membangun keunggulan bersaing. Ini bisa dilakukan dengan melihat core competence dan budaya perusahaan. Sesuatu yang sudah baik dan memiliki potensi, terus diasah. Suatu saat, ketika terjadi perubahan, tiba-tiba saja, apa yang sudah dipersiapkan dapat menjadi keunggulan bersaing yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kemudian perusahaan juga memiliki cerita yang sama, Connecting the Dots.

Handi Irawan D, ChairmanFrontier Consulting Group

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.