Strategi jitu menarik pelanggan dari luar pagar

Restoran di dalam area wisata memang punya banyak tantangan. Dulunya banyak orang yang tidak masuk ke Ancol hanya sekadar untuk makan. Akibatnya restoran jadi sepi pada saat hari biasa. Tapi Bandar Djakarta mencoba membalikkan fakta tersebut. Bagaimana caranya?

Membesarkan resto di kawasan wisata tidaklah mudah. Apalagi resto-resto lain bertebaran dan mudah diakses. Tapi, Bandar Djakarta sukses menggarap pasar ini.  Siapa  yang tidak senang melihat  gerai makannya disambangi banyak tamu? Apalagi melihat dari tahun ke tahun, gerai makanannya terus berbenah dan menjadi destinasi kuliner banyak orang.

Hal ini dialami oleh Wendy Santosa saat gerai makannya dikunjungi banyak orang siang itu. Wendy Santosa adalah salah satu dari pendiri resto Banda Djakarta—sebuah resto makanan laut yang terletak di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara.

Ada sensasi tersendiri apabila kita makan di di tepi pantai– kita akan mendengar derai semilir angin, alunan gelombang air pantai serta aroma bau pasir laut yang khas, serta dihiasi oleh pemandangan kapal-kapal, kereta gantung yang tampak di kejauhan dan deretan rumah apik milik Putri Duyung Cottage – menjadikan resto yang terletak di bibir Teluk Jakarta ini terkesan unik. Suasana pelabuhan di Pantai Karnaval ini memang sengaja diciptakan di resto ini. Cocok sekali dengan namanya, Bandar Djakarta.

Kesuksesan Bandar Djakarta tidak jatuh dari langit.  Membangun bisnis makanan tidaklah mudah. Mengingat letak Bandar Djakarta yang berada di dalam Kawasan Ancol yang tidak mudah terjangkau oleh pengunjung—bila dibandingkan dengan resto lain di pinggir jalan. Ini diakui Wendy Santosa, pada awal membangun resto berkonsep pelabuhan ini. Dengan patungan modal bersama tiga rekannya—Sunarja Lesmana, Hans Setyabudi, dan Anton Cahyono. Resto ini dibangun pada 21 Desember 2001.

Dulu resto Bandar Djakarta ini berdiri di areal seluas 250 meter persegi, berada di  kawasan foodcourt Taste of Asia milik Ikang Fawzi. Namun, ketika, Taste of Asia tutup, Bandar Djakarta berupaya beroperasi sendiri.  Kini luasnya menjadi 3.000 meter persegi. Dari kapasitas tempat duduk hanya 80 orang, kini berkembang menjadi 1.400 orang.

Kendala besar yang dihadapi Wendy adalah problem tempat. Dulu orang tidak pernah berikir untuk makan di kawasan wisata Ancol. Karena, di luar, banyak sekali gerai makan bertebaran dengan sajian menu yang lebih bervariasi.  Untuk menuju resto saja harus bayar pintu masuk Kawasan Ancol. Tentunya, ini menjadi halangan psikologis tersendiri bagi para tamu. Sementara itu, mengandalkan pengunjung kawasan wisata tentu tidak optimal.

“Ini yang menantang kami. Kami pun melakukan berbagai edukasi terus-menerus. Salah satunya melalui iklan di radio. Kami sadar kuncinya tetap ada di servis dan kualitas menu. Kalau ini sudah bisa dicapai, marketing akan jalan sendiri dengan word of mouth. Kami membutuhkan waktu empat tahun untuk mengubah image tersebut,” kenang Wendy.

Kemitraan dengan Ancol menjadi penting. Pengelola resto ini pun akhirnya menggelar program untuk mengubah image Ancol tidak sekadar destinasi wisata. Tapi, juga destinasi kuliner. Apalagi, peluang sebagai resto makanan laut di Ibukota masih cukup besar. Selain itu, untuk merebut perhatian konsumen, Banda Djakarta menerobos dengan berbagai konsep unik. Salah satunya adalah membangun pasar ikan di lingkungan restoran. Ini yang menurut Wendy menjadi pembeda dengan resto-resto seafood lainnya.

Jangan bayangkan pasar ikan ini dengan pasar super padat, sekaligus becek, dipenuhi bau amis dan lalat.  Pasar ikan ini menyatu dengan bagian resto. Pasar ikan ini digelar dengan penataan yang rapi, sekaligus artistik – yang difungsikan untuk memudahkan pelanggan memilih jenis ikan mana yang mau mereka makan. Di pasar ini, pelanggan bebas memilih aneka macam  ikan, kerang, dan binatang laut lainnya yang siap diolah.

Konsepnya resto Bandar Djakarta mengolah menu ikan segar. Bahan baku langsung didatangkan dari pelabuhan. Untuk pemeliharaannya, digunakan es sebagai pengawet. Suasananya benar-benar seperti halnya dermaga.  “Pasar ini membuat pelanggan dihadapkan pada banyak pilihan, sehingga membuat orang ingin mencobanya semua,” kata Wendy.

Untuk menarik peminat, Bandar Djakarta menggelar pesta diskon 50% setiap Senin hingga Kamis. Setiap Senin ada diskon untuk kepiting. Diskon udang paru setiap Selasa. Ikan kue setiap Rabu. Cumi setiap Kamis. “Pesta diskon ini kami adakan sampai sekarang,” tandas Wendy.

Selain itu, tamu yang butuh hiburan pantai disediakan perahu khusus. Rutenya sekitar Pantai Karnaval. Tarif perahu Rp 30 ribu sampai Rp 60 ribu tergantung jumlah penumpang. Jadi  Bandar Djakarta tidak hanya menjual makanan saja, tapi juga menjual suasana.

“Kita memang tidak hanya menjual makanan. Tapi, juga suasana. Kami ingin agar pelanggan di sini tidak mudah lupa dengan Bandar Djakarta. Saya setuju dengan konsep experiential marketing,” imbuh Wendy.

Wendy menambahkan keunggulan resto ini tak lain adalah servis yang cepat. Paling lama sekitar 20 menit, menu makanan yang dipesan dipastikan sudah mendarat di atas meja. Di bagian tengah resto yang sebagian besar didominasi oleh bangunan dari kayu itu ada sebuah bar kecil. Namanya Bar Si Pitung. Pelanggan bisa memesan aneka minuman dari bar ini. Para bartender pun dengan sigap melayani. Di sana juga disediakan satu petak untuk konser live music. Setiap malam, para pengunjung bisa menikmati alunan berbagai musik itu. Bahkan, pengunjung bebas diberi kesempatan untuk turut bernyanyi. Banda Djakarta juga menyediakan paket outdside catering—menyuplai makanan untuk pesta di luar resto.

Selain itu, Banda Djakarta juga menyediakan layanan paket perayaan, seperti ulang tahun, pernikahan, dan sebagainya.  “Kami memang menyasar para keluarga. Bangunan kami desain sedemikian rupa agar menciptakan suasana kekeluargaan ini. Kami tidak mau bermain desain mewah agar tidak terkesan mahal,” katanya.

Dari sisi menu, Bandar Djakarta tidak kalah bersaing dengan resto-resto lainnya. Mereka mencoba berinovasi dengan menggunakan private label. Contohnya, Bandar Djakarta memproduksi saus-saus sendiri. Seperti Saus Jali-Jali, Saus Bandar Djakarta, Saus Teluk, dan sebagainya.

Saus itu sangat cocok menemani menu makanan seperti yang kami coba saat itu adalah satu piring kepiting lada hitam dalam ukuran besar. Satu piring berisi kerang macan yang bergelimangan dalam saus padang. Satu piring berisi enam potong udang pacet besar dalam luluran saus teluk. Satu piring calamari goreng tepung. Satu piring berisi roti mantau yang enak dimakan bila dicocolkan dengan saus padang atau saus lada hitam. Satu bakul nasi putih. Satu piring berisi lalapan.  

Semua sajian langsung mencekik lidah kami untuk segera menyantapnya. Apalagi aromanya mulai menggoda.  Kepulan asap dari sajian yang masih panas itu langsung mengundang selera kami untuk segera menyantapnya.

Bicara soal harga, cukup rasional. Untuk ala carte rentang harganya Rp 12.000/kg sampai Rp 630.000/kg. Untuk paket buffet berkisar Rp 40.000-Rp 80.000 per orang.  Anda tidak usah khawatirb dengan harga karena Bandar Djakarta menyediakan diskon.  Apalagi menu satu porsi lauk bisa cukup di makan untuk 2-3 orang.

Soal omzet, Wendy belum mau menyebutkan. Namun, bisa dihitung sendiri.  Menurut  Wendy, volume pengunjung untuk weekdays sekitar 1.000 orang. Sementara di weekend, volumenya dua kali lipat.  Nah, bila setiap orangnya, katakanlah membayar Rp 20 ribu saja, omzet setiap harinya bisa mencapai Rp 20-40 juta.

Usai sukses menggarap Jakarta, Bandar Djakarta berencana mengekspansi ke daerah Serpong. “Konsepnya sama. Di sana, juga ada saung-saung. Letaknya cukup strategis, yakni di Alam Sutera.  Pasarnya juga lumayan besar sesuai survei kami,” kata Wendy optimistis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.