Responsiveness adalah dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah dengan kecenderungan naik dari waktu ke waktu. Sebagai contoh adalah hasil survei yang dilakukan oleh Frontier selama 5 tahun terakhir ini dalam industri perbankan. Lima tahun yang lalu, 90 % dari nasabah di Jakarta akan puas apabila waktu menunggu di cabang suatu bank sebelum melakukan transaksi adalah antara 10-15 menit. Pada tahun ini, 90 % dari nasabah di Jakarta mengharapkan agar lama menunggu adalah sekitar 3-5 menit.
Mengapa terjadi demikian ? Perkembangan teknologi dalam dunia perbankan demikian cepatnya. Dari tahun ke tahun, semakin banyak nasabah yang menggunakan ATM. Bahkan sebagian orang tua yang dulu gagap teknologi, beberapa mulai berani menggunakannya. Sebelum penetrasi penggunaan ATM ini mencapai titik maksimal, bank-bank sudah menawarkan telephone banking dengan membangun infrastruktur untuk call center. Sekali lagi, sebelum maksimal tingkat penetrasinya, bank sudah memasuki tahap selanjutnya yaitu transaski dengan bank melalui internet. Beberapa bank asing dan bank besar seperti BII dan BCA juga sudah selama 1 tahun ini menawarkan fasilitas ini. Perlombaan untuk terus mempercepat pelayanan tak akan pernah berakhir di masa mendatang. Salah satu nilai tambah yang ditawarkan adalah kecepatan pelayanan.
Pengalaman pelanggan dalam mendapatkan pelayanan di masa lalu yang akan mengubah harapan pelangan. Sepuluh tahun yang lalu, saya bersedia untuk menunggu beberapa bulan guna mendapatkan pelayanan sambungan telepon dari Telkom. Lima tahun yang lalu, saya hanya mempunyai toleransi 1 minggu untuk menunggu sambungan telepon. Hari ini, karena pengalaman terakhir kali berhubungan dengan Telkom bahwa perusahaan ini dapat memasang sambungan dalam 24 jam, saya berharap bahwa sambungan telepon harus dilakukan dalam 1 hari. Lewat dari waktu ini, saya akan mulai tidak puas.
Dalam bahasa ekonomi, waktu adalah “scarce resources”. Karena itu, waktu sama dengan uang yang harus digunakan secara bijak. Itulah sebabnya, pelanggan akan tidak puas bila waktunya terbuang percuma karena sudah kehilangan kesempatan lain untuk memperoleh sumber ekonomi. Pelanggan akan siap untuk mengorbankan atau membayar pelayanan yang lebih mahal untuk setiap waktu yang dapat dihemat.
Salah satu pembentuk kepuasan pelanggan terhadap pelayanan fastfood seperti McDonald’s, Wendy, KFC, Hartz Chicken dan lain –lain adalah waktu yaitu pelayanannya yang lebih cepat. Konsumen berharap tidak perlu menunggu pelayanan yang lama untuk mendapatkan pelayanan seperti di restoran lain.
Perlu diingat bahwa harga suatu waktu adalah berbeda antara setiap pelanggan dengan pelanggan lainnya. Ada kelompok pelanggan yang lebih menghargai waktu dan ada yang kurang menghargai waktu. Pelanggan di Jakarta misalnya, akan mempunyai toleransi yang lebih kecil dalam hal waktu menunggu suatu pelayanan. Sebaliknya, pelanggan di kota-kota kecil, akan lebih toleran. Oleh karena itu, program kepuasan pelanggan yang berhubungan dengan kecepatan pelayanan tidaklah perlu sama antara satu daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara pelanggan kelompok atas dan pelanggan kelompok bawah. Pelanggan yang kaya, akan mempunyai harapan yang jauh lebih tinggi terhadap kecepatan pelayanan.
Sama seperti dimensi pelayanan lainya, maka kepuasan terhadap dimensi responsiveness adalah berdasarkan persepsi dan bukan aktualnya. Karena persepsi mengandung aspek psikologis lain, maka faktor komunikasi dan situasi fisik di sekeliling pelanggan yang menerima suatu pelayanan merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi penilaian pelanggan.
Seorang pelanggan akan mempunyai toleransi yang lebih besar bila menunggu di suatu restoran yang nyaman. Bangku yang empuk, ruangan yang ber AC, waiter yang terlihat rapi, adanya hiasan-hiasan yang menarik di dinding restoran, akan membuat pelangan mampu menunggu selama 30 menit sebelum makanan dihidangkan. Sebaliknya pelanggan yang sama akan memberikan toleransi yang lebih kecil bila menunggu di suatu restoran yang tidak nyaman.
Mengkomunikasikan kepada pelanggan mengenai proses pelayanan yang diberikan akan membentuk persepsi yang lebih positif. Bayangkan, bila Anda mempunyai mobil yang rusak dan kemudian dibawa ke suatu bengkel. Lima hari kemudian, pemilik bengkel menelpon Anda dan menyatakan bahwa mobil telah selesai ? Cukup responsifkah pelayanan yang diberikan oleh bengkel tersebut ? Besar kemungkinan Anda merasa kecewa karena tidak ada pemberitahuan dan informasi selama 5 hari ini. Kepuasan Anda terhadap bengkel tersebut akan naik, bila pada hari kedua, si bengkel mengkontak Anda untuk memberitahukan penyebab kerusakan mobil. Pada hari keempat, memberitahukan kepada Anda bahwa perbaikan mobil hampir selesai dan perlu sedikit waktu lagi. Pada hari kelima, bengkel sekali lagi mengkontak Anda dan mengatakan bahwa mobil telah selesai. Bila cara ini yang dilakukan maka persepsi bahwa bengkel tersebut telah memberikan pelayanan yang responsif akan lebih terbentuk walau sama-sama 5 hari.
Pelayanan yang responsif atau yang tanggap, juga sangat dipengaruhi oleh sikap front-line staf. Salah satunya adalah kesigapan dan ketulusan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan pelanggan. Kepuasan pelanggan dalam hal responsiveness ini juga seringkali ditentukan melalui pelayanan melalui telepon. Berdasarkan banyak studi yang saya lakukan, ada satu hal yang sangat sering membuat pelanggan kecewa, yaitu pelanggan sering di ping-pong saat menelpon. Dari operator dioper ke staf yang lain dan kemudian ke staf lain, setelah itu, pelanggan akhirnya mendapat jawaban “saya kembalikan ke operator lagi ya pak ?”. Sungguh, pelayanan yang tidak tanggap dan pastilah pelanggan tidak puas. (www.marketing.co.id)