Terjepit di Tengah Pertarungan Tiga Negara

Merek-merek Jepang, Korea, dan Tiongkok sudah lama bertarung di Indonesia. Kini dengan situasi pasar yang lebih terbuka dan perilaku konsumen yang berubah radikal, peta persaingan ketiganya mulai berbeda. Indonesia harus belajar dari ketiga petarung ini dan jangan menjadi penonton!

japan-china-korea

Kereta supercepat yang menjadi impian Presiden Jokowi seperti menjadi salah satu puncak pertarungan antara Jepang dan Tiongkok. Setelah mengeluarkan biaya studi kereta supercepat, Jepang tiba-tiba harus menghadapi keinginan Presiden Jokowi untuk mengundang pihak Tiongkok ikut serta dalam lelang pengadaan kereta ini. Seperti biasa, Jepang mengandalkan kualitas dan keamanan sementara Tiongkok menawarkan pinjaman yang fleksibel dan return on investment yang lebih cepat. Sekalipun, keamanan tetap menjadi perhatian dari proposal Tiongkok.

Jepang memang sedang kurang beruntung. Toshiba, salah satu merek perkasa dari negara ini, harus menutup pabriknya di Indonesia karena beberapa produk mereka gagal di pasaran. Sementara Sony yang sempat menjadi nomor satu di banyak kategori produk juga sudah terlebih dahulu hengkang. Merek-merek elektronik mereka di Indonesia yang sempat mendominasi kini mulai tergeser oleh merek-merek dari Korea. Sementara Tiongkok (yang dulunya China) juga tak kalah agresifnya berupaya menjegal dua “raksasa” di elektronik.

Merek-merek Korea apa yang hadir di pasar Indonesia? Samsung, LG, dan Sanken adalah beberapa merek dari Negari Ginseng yang mendominasi pasar elektronik di Indonesia. Selain itu ada merek seperti KIA dan Hyundai yang masuk ke pasar otomotif sebagai penantang merek Jepang. Keduanya masih bertahan, namun sulit bagi kedua merek mobil ini untuk melawan dominasi Jepang di otomotif.

Tiongkok boleh jadi juga gagal di industri otomotif. Mocin (Motor China) mereka harus tersingkir oleh motor Jepang. Beberapa merek Tiongkok di beberapa kategori produk juga hanya menjadi penonton dari pertarungan Jepang dan Korea. Misalnya saja di kategori televisi, mesin cuci, dan AC. Namun di kategori ponsel, merek-merek Tiongkok juga tidak kalah “galak” bermain di pasar.

Salah satu merek andalan Negeri Tirai Bambu ini adalah Xiaomi yang menjadi tren di kalangan anak muda. Di negara asalnya, Xiaomi berhasil mengalahkan merek-merek seperti Samsung dan Apple. Merek yang dianggap menjiplak Apple ini bisa menarik konsumen di Indonesia. Terbukti, merek ini langsung laku hingga 5.000 unit dalam waktu 7 menit saat mengadakan flash sale.

Di luar merek Xiaomi ada pula merek-merek seperti Akira, TLC, Haier, Changhong, dan Midea. Merek-merek ini mengambil pasar kelas bawah yang cenderung sensitif terhadap harga. Tak pelak, dengan bergerilya di pasar bawah, merek-merek dari Tiongkok ini pun ikut mengancam merek-merek Jepang dan Korea.

Jepang, Korea, dan Tiongkok adalah pemain global utama di Asia. Ketiga negara ini memang memiliki semangat ekspansi ke pasar luar negeri. Dengan jumlah penduduk kelima terbanyak di dunia, sudah pasti para pemain dari ketiga negara ini pun melihat Indonesia sebagai pasar yang menggiurkan. Itulah sebabnya merek-merek dari ketiga negara itu saling bersaing menjadi market leader di pasar Indonesia.

Tentu saja jika berbicara pertarungan ketiga negara tersebut, kita tidak hanya berbicara industri elektronik dan otomotif. Persaingan ketiganya, misalnya, muncul pula di industri makanan, fashion, dan juga ritel.

Nasionalisme dan Dendam Masa Lalu

Pertarungan merek-merek dari ketiga negara ini sebenarnya tidak sekadar pertarungan bisnis semata. Ketiga negara ini diliputi oleh dendam masa lalu saat Perang Dunia yang membuat hubungan diplomatik ketiganya seperti pasang surut. Penjajahan Jepang terhadap Korea dan Tiongkok pada masa Perang Dunia II memang menciptakan luka batin. Itulah sebabnya, nasionalisme dan semangat mengalahkan ekspansi Jepang di dunia bisnis muncul dari pebisnis Korea dan Tiongkok.

Nasionalisme ini terlihat dari cara Korea Selatan mendukung rakyatnya untuk setia membeli merek-merek buatan negara mereka. Korea Selatan juga memiliki program mengirimkan para mahasiswa ke negeri barat untuk belajar dan mengadopsi banyak hal dari sana ke negara mereka.

Sementara, negara Tiongkok terkenal lebih keras lagi. Negara mereka diperintah dengan “tangan besi” yang membuat banyak produk dan karya dari negara barat diblokir. Mereka lebih pilih mengembangkan produk dan karya mereka sendiri dengan mencontoh dari negara barat. Itulah sebabnya Tiongkok memiliki Alibaba, Baidu, Lenovo, Xiaomi, yang tak kalah bersaing dengan Google, Facebook, HP, dan Apple.

Meniru Negara Lain

Filosofi ketiga negara ini sebenarnya sama, meniru kesuksesan yang dilakukan merek-merek dari negara lain. Jepang sudah terlebih dahulu melakukan ini. Negara Jepang kini menjadi negara raksasa otomotif dan mengalahkan Amerika Serikat. Padahal dulu mereka terkenal sebagai copycat dari negara barat.

Pasca Perang Dunia II, Kaisar Akihito ingin membangun Jepang dari kehancuran dengan mengembangkan industri-industri strategis di negara tersebut. Negara ini kemudian mengirimkan putra-putra terbaik mereka ke negara barat untuk belajar. Sementara itu para industriawan juga didorong untuk mengadopsi apa yang diperoleh di barat untuk dijalankan di Jepang. Muncullah industriawan-industriawan Jepang yang kita kenal seperti Katsuaki Watanabe (Toyota), Akio Morita (Sony), dan Koichiro Honda (Honda).

Negara Korea Selatan pun tak kalah giatnya meniru. Negara ini meniru, baik dari barat maupun dari “kakak” mereka, Jepang, yang sudah terlebih dahulu mapan di industri otomotif dan elektronik. Hyundai misalnya, pada awal-awal desain mobil mereka katanya mirip dengan Honda. Sementara KIA juga meniru desain dan mesin dari Toyota.

Sebagai copycat, kualitas merek-merek dari Korea Selatan memang cenderung dipersepsi low quality dibandingkan Jepang. Namun yang dilakukan Korea mirip dengan Jepang, yakni mencoba mendekatkan diri dengan kebutuhan konsumen. Mereka membuat produk dengan fitur-fitur yang lebih dibutuhkan konsumen, Jepang saat masuk ke industri otomotif lebih berfokus pada mobil-mobil yang kompak dan irit. Ini berbeda dengan Amerika Serikat yang sangat mengagungkan kenyamanan dan kemewahan.

Korea pun mencoba melawan Jepang di pasar elektronik yang sudah terlanjur dipersepsi sebagai produsen produk berteknologi tinggi. Merek-merek Korea awalnya masuk pasar dengan produk yang belum terdepan secara teknologi. TV mereka kalah canggih dibandingkan merek Sony. Namun mereka bisa menjual dengan harga yang terjangkau, dengan harapan penetrasi pasar merek mereka bisa semakin luas.

Produsen-produsen dari negara Tiongkok lebih ekstrem lagi dalam meniru. Mereka sering tersandung masalah hak cipta karena filosofi mereka adalah meniru secara utuh teknologi dari negara lain dan membuatnya dengan harga lebih murah.

Berbeda dengan Korea, produsen dari Tiongkok lebih cenderung menjadi pedagang dibandingkan pemasar. Mereka sering tidak peduli dengan brand image dan kualitas produk. Industri di negara ini banyak yang hidup sebagai OEM (original equipment manufacture) sehingga mereka tidak terbiasa membangun brand. Itulah sebabnya banyak merek Tiongkok terlihat agresif ketika masuk ke Indonesia dan tiba-tiba rontok di tengah jalan.

Continuous Improvement

Sekalipun mereka awalnya memproduksi barang berkualitas rendah, namun ketiga negara ini memiliki semangat untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. Jepang memiliki filosofi kaizen yang berarti perbaikan terus-menerus. Kata kaizen ini dimiliki pula oleh Korea (ge sun) dan Tiongkok (gai shan). Filosofi tersebut mewarnai para pebisnis di ketiga negara ini dan akhirnya justru mendorong semangat inovasi.

Ketika merek Sony masih berjaya dengan Walkman-nya, merek ini pun terlihat begitu agresif berinovasi. Demikian halnya merek-merek seperti Toyota, Honda, dan Yamaha, selalu tampil dengan berbagai desain baru. Semangat memperbaiki diri dan inovatif ini juga diikuti oleh Korea. Merek-merek Korea lama-kelamaan mulai terkenal dengan kualitasnya. Dengan persepsi yang semakin positif di konsumen, merek Korea mulai masuk ke teknologi-teknologi yang terdepan. Contohnya merek Samsung yang selalu tampil dengan teknologi baru.

Akan halnya merek-merek dari Tiongkok, mereka sudah mulai ada yang bermain dalam kualitas ketimbang harga. Hal ini dilakukan misalnya oleh merek Lenovo yang mengadopsi kualitas dari IBM, serta Xiaomi yang mengadopsi kualitas Apple.

Siapa Pemenangnya?

Tentu saja ada banyak lagi kesamaan dari ketiga negara ini yang akhirnya membuat mereka begitu perkasa di Indonesia. Tinggal kita melihat, siapa yang akhirnya akan muncul sebagai pemenang: Jepang, Korea, atau Tiongkok?

Jika dilihat dari peta persepsi, ketiga negara ini sepertinya sudah mengambil posisi masing-masing di pasar Indonesia. Merek-merek Jepang lebih memilih segmen menengah atas, dimana segmen ini lebih quality oriented, technology oriented, dan sangat mengandalkan emotional benefit. Sementara itu merek-merek Korea banyak yang sukses di segmen menengah yang mementingkan affordable price dengan kualitas yang masih diterima. Sementara dari sisi emotional benefit tidaklah setinggi merek-merek dari Jepang. Merek-merek Tiongkok lebih memilih segmen pasar bawah yang price oriented, berorientasi pada fungsi, dan tidak ada emotional benefit-nya.

Ada banyak teori yang bermunculan ketika melihat merek-merek elektronik Jepang mulai berguguran. Salah satunya, merek-merek mereka di papan menengah memang satu per satu mulai digoyang oleh merek-merek dari Korea. Selain itu, sebuah artikel dari McKinsey juga menunjukkan bahwa Jepang sekarang ini mulai mengalami banyak masalah. Negara ini mulai mengalami masalah dengan berkurangnya penduduk mereka. Tingkat konsumsi merek-merek Jepang di dalam negara mereka sendiri semakin mengecil. Padahal sama seperti Korea dan Tiongkok, pasar dalam negeri mereka yang sangat besar menjadi pendorong keberhasilan merek mereka.

Negara ini katanya juga semakin lelah berinovasi. Banyak inovasi muncul dari pasar di luar negara Jepang dan kelemahan mereka adalah birokrasi dan riset yang terlalu lama. Itulah sebabnya inovasi mereka terlihat melambat dibandingkan Korea. Dengan revolusi pasar sekarang ini, merek-merek Jepang sudah tidak sanggup lagi memenuhi pergerakan yang ada di pasar.

Tentu saja ada banyak lagi teori tentang kemunduran Jepang di global market. Di sisi Indonesia sendiri, pertarungan ketiga negara ini harus menjadi pembelajaran bagi para marketer di Indonesia, jangan sampai kita hanya menjadi penonton.

Rahmat Susanta, Pemimpin Redaksi Majalah Marketing

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.