Terobosan Baru Pembelajaran Bagi Frontliner

www.marketing.co.id – Sudah sering dikeluhkan oleh perusahaan-perusahaan lokal bahwa melakukan studi benchmarking di Indonesia adalah hal yang sulit apalagi dalam bidang pelayanan. Banyak perusahaan-perusahaan besar, pada umumnya masih tidak terbuka dan belum memilki keinginan yang kuat untuk membagikan apa yang telah mereka lakukan kepada perusahaan lain.

Di sisi lain, perusahaan besar yang ingin melakukan benchmarking ke perusahaan luar negeri, seringkali juga menyadari bahwa dengan karakteristik pelanggan yang berbeda, ada banyak hal yang tidak relevan dalam proses dan hasilnya. Harapan pelanggan yang berbeda dan perilaku pelanggan yang berbeda adalah penghambat terbesar dalam melihat relevansi hasil benchmarking dari perusahaan yang beroperasi di luar negeri.

Dalam ajang ini, para frontliner diminta untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam melayani. Mereka dievaluasi berdasarkan pengetahuan dalam bidang pelayanan dan juga sekaligus memperagakan sikap dan  ketrampilan mereka dalam memberikan pelayanan.  Selain kemampuan individu, kerja sama tim akan memberikan pengaruh terhadap  penilaian mereka.

Sudah pasti, kemenangan dalam pertandingan ini tidak mencerminkan tinggi-rendahnya budaya pelayanan dalam suatu perusahaan. Dalam championship ini,  satu tim terdiri dari 3 frontliner dengan satu atau 3 orang official.  Dari segi jumlah, tidak merepresentasikan jumlah karyawan yang bisa mencapai ribuan dari peruasahaan yang berpartisipasi. Saya tidak akan heran, bila dalam final nanti, yang rencananya dilakukan pada pertengahan bulan April, beberapa pemenang bisa berasal dari perusahaan kelas menengah atau perusahaan yang tidak memiliki reputasi kualitas pelayanan prima.

Proses Pembelajaran

Hasil dari akhir pertandingan ini, saya sungguh berharap, para manager atau top management dari petugas lini depan ini akan belajar bahwa kesuksesan dan keberhasilan mereka dalam memberikan pelayanan akan ditentukan oleh berbagai faktor.  Perusahaan-perusahaan yang secara konsisten terus-menerus memperbaiki faktor-faktor berikut ini adalah perusahaan yang mampu menghasilkan frontliner yang berkemampuan prima dalam pelayanan.

Pertama, frontliner yang dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapaan pelanggan adalah mereka yang memiliki “team work” yang baik. Tidak ada proses pelayanan yang dapat diselesaikan sendiri. Perusahaan lebih membutuhkan kerja sama tiam di mana perilaku dari anggota tim adalah mereka yang memiki visi dan tujuan yang  sama, yaitu menciptakan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Team work yang baik tercermin dari mudahnya untuk melibatkan staf frontline dalam proses pemberian pelayanan atau proses penanganan keluhan. Dengan demikian, bukan hanya aspek sinergi yang mereka peroleh sebagai kerja sama tim yang baik, tetapi adanya sharing knowledge mengenai harapan  pelanggan.  Bila ini terjadi,  akan menciptakan proses pembelajaran yang terus-menerus dari setiap individu (frontliner).

Kedua, manager akan belajar bahwa frontliner akan memberikan pelayanan yang baik apabila diberikan “empowerment” yang cukup. Kemampuan mereka untuk mengambil keputusan dengan cepat, memberikan kepastian kepada pelanggan dalam pelayanan akan sangat berpengaruh terhadap persepsi terhadap pelayanan yang diterima oleh pelanggan.   Pelayanan adalah bagian dari produk yang sangat heterogen. Selain pelanggan memiliki harapan yang berbeda, situasi yang berbeda juga menyebabkan satu pelayanan menjadi tidak homogen. Dalam konteks ini, frontliner dengan empowerment yang cukup, memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih percaya diri dan lebih tuntas.

Ketiga, frontliner yang dapat memberikan pelayanan yang prima adalah mereka yang mengerti  akan peran dan tugas mereka.  Tidak mengherankan, perusahaan yang memiliki standar layanan dan telah dikomunikasikan secara jelas kepada mereka, akan melihat bagaimana frontliner mereka akan berhasil dalam men-delivery suatu pelayanan yang prima. Mereka mengerti dengan jelas tugas dan peran mereka.  Mereka  juga mengerti bahwa pelanggan adalah bos mereka sesungguhnya. Tidak ada konflik antara memuaskan pelanggan dengan memuaskan atasan.

Keempat, manager pelayanan akan belajar bahwa frontliner yang baik adalah mereka yang memenuhi kriteria “job-fit”. Ada frontliner yang dalam memberikan pelayanan, harus menggunakan komputer atau infrastruktur yang berteknologi tinggi seperti internet.  Frontliner yang gagap dengan teknologi atau mereka yang sudah lanjut usia, jelas bukan petugas yang tepat untuk melayani pelanggan. Teknologi yang seharusnya mempercepat pekerjaan mereka, justru menjadi perangkat yang menghambat pelayanan. Sebaliknya, ada juga frontliner yang dituntut pelanggan dalam hal aspek pengalaman dan ketelitian.   Bila hal ini menjadi sesuatu yang penting, maka frontliner yang sanggup memberikan pelayanan prima adalah mereka yang berkarakter hati-hati dan memiliki pengalaman yang panjang. Ada juga tipe pelanggan di mana yang terpenting adalah personal contact.  Bila demikian, frontliner yang ramah dan memiliki empati yang tinggi adalah tipe yang sesuai dengan harapan pelanggan.

Kelima, frontliner yang memberikan pelayanan prima secara terus-menerus adalah mereka yang puas dengan kompensasi yang mereka peroleh. Mereka merasa puas karena perusahaan memberikan penghargaan kepada pekerjaaan yang baik dan memberikan hukuman  kepada suatu pekerjaan yang merugikan perusahaan. Mereka merasa di-reward secara adil oleh perusahaan karena performance mereka dalam memberikan pelayanan terukur. Kompensasi ini bukan hanya dari aspek finansial semata tetapi juga non-finansial seperti kesempataan dalam berkarier.

Budaya Pelayanan

Harus diakui, salah satu parameter untuk melihat budaya pelayanan dari suatu perusahaan adalah dari pelayanan yang diberikan kepada frontliner.  Merekalah  yang men-delivery pelayanan, merekalah yang bertemu langsung dengan pelanggan dan merekalah yang menjadi obyek penting yang dievaluasi oleh pelanggan. Ibarat dalam suatu drama, merekalah yang menjadi aktor yang dilihat dan dinikmati oleh penonton. Keluhan dan cemooh akan mereka terima apabila penonton tidak puas atau pujian akan dilontarkan bila penampilan mereka memuaskan penonton.

Padahal, apa yang terjadi di permukaan atau yang terlihat oleh pelanggan, sesungguhnya, dipengaruhi oleh banyak hal yang saling berkaitan. Dalam kerangka besar, budaya  pelayanan adalah “invisible hand” yang mengarahkan setiap frontliner bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam memberikan pelayanan. Budaya pelayanan yang kuat akan membuat setiap frontliner mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang penting bagi pelanggan dan apa yang kurang penting, sekaligus.

Budaya perusahaan itu sendiri, dipengaruhi oleh “leadership” dari top management.  Budaya perusahaan, juga dibentuk oleh service design dan service standard yang dimilki oleh perusahaan, strategi pelayanan yang diformulasikan dan juga bagaimana perusahaan melakukan koordinasi antar departemen atau divisi yang berbeda dalam  suatu proses pelayanan. Inilah menariknya dunia pelayanan. Sederhana di mata pelanggan, tetapi merupakan perjalanan panjang bagi perusahaan untuk menyempurnakan. Bahkan, tiada ujungnya. (Handi Irawan D.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.