Teror WOM

Gatal juga kalau tidak berkomentar soal “peti mati” yang menghebohkan itu, karena ha ini bisa menjadi bahan pembelajaran yang menarik buat para marketer.

Awal Juni lalu Majalah Marketing pun kedatangan peti mati ukuran bayi yang dikirim dengan Ambulan dari sumber yang sama. Kami sebenarnya terbiasa menerima undangan press conference atau product launching dengan bentuk undangan yang bermacam-macam. Sehingga kami tak terlalu heran kalau ada yang mengirim dengan bentuk-bentuk yang tidak biasa.

Namun yang ini tergolong “luar biasa”, karena undangan launching buku tersebut dikemas dalam peti mati dan bertuliskan nama tujuan pengirimnya serta tulisan Rest in Peace Soon. Tak ada isyarat apapun yang menunjukkan bahwa itu adalah pengumuman akan adanya peluncuran buku yang topiknya tentang “The dead of advertising”.

Dengan tulisan itu pun kami masih berpikir bahwa ini hanya keisengan orang-orang merketing. Tapi akhirnya kami memilih untuk mengembalikan kepada pengirimnya. Bukan apa-apa, kalau saya tetap menyimpannya di kantor bisa membuat takut teman-teman redaksi yang suka kerja lembur sampai pagi.

Idenya memang menarik namun menjadi masalah karena disampaikan ke beberapa pihak yang tidak tepat dan dengan cara yang tidak tepat. Akibatnya hal ini membuat kebanyakan orang lebih melihatnya sebagai teror dibandingkan aktivitas marketing. Bahkan para politisi di Indonesia pun berkomentar macam-macam tanpa mengerti maksud sebenarnya. Hasilnya, justru malah aparat keamanan turut campur menyelidiki motif pengiriman peti mati ini.

Orang Indonesia mulai gandrung yang namanya word of mouth. Padahal ini adalah aktivitas yang sudah mendarah daging di Indonesia. Dari dulu manusia memang dilahirkan sebagai makhluk sosial. Artinya mereka juga tidak bisa lepas dari yang namanya gosip. Oleh karenanya word of mouth (WOM) marketing sebenarnya adalah upaya untuk tujuan marketing. WOM itu sebenarnya bukan cara, namun lebih ke tujuan antara. Para marketer jadul menyebutnya “getuk tular”. Cara yang dipakai bisa bermacam-macam. Iklan yang menarik dan lucu bisa menjadi bahan perbincangan. Dokter yang ahli bisa menjadi perbincangan. Produk yang “keren abis” bisa menjadi perbincangan. Pelayanan yang bagus juga bisa menjadi pembicaraan antar pelanggan.

Kini soal cara saja, apakah Anda memilih untuk menciptakannya secara organik (orang lain membicarakannya tanpa Anda suruh) atau non organik (dilakukan secara sistematik). Anda pun bisa memilih cara yang mahal. Misalnya dengan membuat orang bertanya-tanya. Ataukah dengan cara yang murah, seperti lewat twitter dan facebook.

Booming mass media, kehadiran mobile phone dan internet di Indonesia akhirnya membuat WOM  bisa dilakukan dengan cara yang lebih murah dan punya efek lebih dahsyat. Ketiganya adalah channel komunikasi WOM yang lebih cepat dibandingkan arisan ibu-ibu. Makaya keripik pedas Maicih dari Bandung lebih cepat laku karena Twitter. Soal peti mati itu pun, tak sampai satu hari sudah sampai ke telinga para pejabat pemerintahan di negara ini, karena, dikirim ke 100 perusahaan mass media. Artinya efek amplifier nya pun lebih keras dibandingkan dulu.

Saya jadi teringat pada buku Word of Mouth Marketing, buku yang ditulis oleh Andy Sernovitz’s. Buku ini cukup melegenda dan dijadikan acuan bagi para marketer. Ada empat hal yang mesti diperhatikan agar orang lain mau membicarakan produk Anda.

Pertama, ciptakan produk yang menarik. Kalau produk Anda sudah tidak menarik, tidak ada yang akan membicarakan produk Anda. Produk Anda tidak harus punya kualitas yang prima, namun kalau ada hal yang menarik dari produk Anda, orang dengan mudah membicarakannya.

Kedua, kita harus mampu membuat pelanggan kita senang. Artinya, cara yang dipakai oleh kita harus mampu menciptakan rasa senang bahkan bahagia untuk pelanggan. Seperti pelanggan keripik pedas Maicih, sekalipun harus berburu (karena tempat berjualannya berpindah-pindah) namun pada akhirnya menimbulkan rasa puas ketika bisa mendapatkannya. Peti mati buat beberapa orang sayangnya menimbulkan keresahan dibandingkan kesenangan.

Ketiga, kita harus mendapatkan kepercayaan dan hormat dari pelanggan kita. Tanpa kepercayaan dan rasa hormat, yang terjadi adalah berita negatif kepada orang lain. Keempat, kita harus membuat hal-hal yang mudah dipahami sehingga pelanggan pun dengan cara yang mudah bisa membicarakannya. Peti mati (coffins) yang dikirim sayangnya tidak mudah dipahami sebagai bagian dari launching buku. Sebagian orang justru melihatnya sebagai teror.

Tanpa mengurangi rasa salut terhadap Sumardy dan tim, ada pembelajaran yang berharga di dalamnya bagi para marketer. Kita semua harus berterima kasih atas terjadinya kasus ini, karena membuat kita yakin bahwa WOM bisa menjadi amplifier yang dahsyat buat produk kita. Tinggal akibatnya harus diperhitungkan masak-masak di depan, karena bisa menimbulkan dua akibat: menciptakan para pewarta kabar gembira untuk produk kita. Ataukah justru menciptakan orang-orang yang tidak mengerti dan menyebarkan kabar tidak gembira untuk produk kita? (www.marketing.co.id)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.