Tidak ada Bukti Ilmiah MSG Berbahaya Bagi Kesehatan dan Menurunkan Kecerdasan

Marketing – Isu dampak negatif mengonsumsi MSG (Monosodium Glutamat ) terdengar cukup santer di masyarakat. Sering kita mendengar atau membaca artikel tentang bahaya mengonsumsi MSG dalam jangka panjang, seperti menimbulkan berbagai penyakit dan bisa menurunkan intelegensia anak-anak. Seperti diketahui (MSG) kerap digunakan sebagai penyedap rasa masakan. Dengan MSG penganan terasa menjadi lebih gurih saat disantap.

Menurut survei Persatuan Pabrik MSG & GA Indonesia (P2MI) tahun 2008, seperti termuat dalam buku “Review Monosodium Glutamat, How To Understanding It Properly” edisi ke empat, sumber dampak negatif MSG diperoleh konsumen melalui media (56%), keluarga dan teman (35%), dan dokter (9%).

Benarkah MSG berbahaya bagi kesehatan? Pakar Gizi Prof. Dr. M. Hardinsyah. M.S menjelaskan, munculnya isu bahaya MSG bagi kesehatan pertama kali dikemukakan Dr. Ho Man Kwok setelah berkirim surat ke New England Journal of Medicine pada tahun 1988. Dalam suratnya dia menceritakan kemungkinan penyebab gejala yang dia alami setiap kali makan di restoran China di Amerika Serikat. Belakangan gejala itu dikenal dengan istilah “Sindrom Restoran China”.

Namun, dia bilang, MSG atau masyarakat Indonesia lebih mengenalnya dengan vetsin sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. “Belum ada penelitian yang membuktikan MSG berbahaya bagi kesehatan, bahkan jika konsumsinya mencapai 10 gram sehari,” tutur Hardi, sapaan akrabnya ketika menjadi pembicara dalam diskusi “Gizi Seimbang dari Bahan Tambahan Pangan Halal” yang diselanggarakan Forum Warta Pena (FWP) dan Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) di Hotel Ibis Tamarin, Sabang, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019).

Lebih jauh dia mengatakan, apa yang dirasakan oleh Ho Man Kwok merupakan reaksi dari tubuhnya yang alergi dengan bahan yang terkandung dalam zat glutamate tersebut. “Berdasarkan sebuah penelitian memang ditemukan ada sebagian orang merasa alergi dengan MSG,” kata Hardi.

Dalam perkembangannya, produsen MSG menciptakan penyebab rasa lainnya yang dikenal dengan UMAMI. UMAMI ini terdiri dari tiga zat gizi, yaitu glutamat, natrium, dan air. Sama halnya dengan MSG, penyedap rasa ini juga tidak berbahanya bagi tubuh manusia. Bahkan jika zat glutamate ini dikomsusmsi secara terus menurus, tak akan ada pengaruh kesehatan bagi pemakainya.

“Dikomsumsi hingga Sampai 5 gram pun tak ada pengaruh terhadap kesehatan dan kondisi ini sama dengan manusia yang tidak mengkomsumsi MSG,” kata dia.

Ketua Persatuan Pabrik MSG & GA Indonesia (P2MI) M. Fachrurozy (kiri) dan Pakar Gizi Prof. Dr. M. Hardinsyah. M.S (kanan)

Peryataan Hardi diperkuat Tetty R. Sihombing, pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI. Tetty yang pada diskusi ini memaparkan hasil penelitian Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) Badan Pangan Dunia milik PBB serta WHO, menempatkan MSG dalam kategori bahan penyedap masakan yang aman dokonsumsi dan tidak berpengaruh pada kesehatan tubuh.

Temuan ini diperkuat European Communities Scientific Committee for foods di tahun 1991. Selanjutnya, Badan Penagwas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 1995 menyatakan, bahwa MSG termasuk sebagai bahan bumbu masakan, seperti halnya garam, merica, dan gula, sehingga aman bagi tubuh.

“MSG tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan karena memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) not specified,” terang Tetty. ADI not specified adalah istilah yang digunakan untuk bahan tambahan pangan yang mempunyai toksisitas yang sangat rendah, berdasarkan data–kimia, biokimia, toksikologi, dan data lainnya.

Produk MSG Indonesia di ekspor ke Jepang

Dalam kesempatan tersebut Hardi juga membantah isu yang mengatakan MSG jika dikonsumsi anak-anak akan menurunkan intelegensia mereka. “Tidak ada bukti bahwa asupan MSG menganggu otak, karena kecerdasan ditentukan oleh sel otak,” tandasnya.

Dia juga membantah jika ada yang menyatakan konsumsi MSG di Jepang rendah. “Negara yang banyak mengonsumsi MSG di dunia adalah Jepang dan China. Butkinya dua negara itu paling banyak membuat inovasi di Asia, kalau masyarakatnya bodoh tidak mungkin mampu berinovasi. Ini sederhananya,” kilahnya.

Pendapat senada disampaikan Ketua Persatuan Pabrik MSG & GA Indonesia (P2MI) M. Fachrurozy. Katanya keliru jika ada yang menyatakan konsumsi MSG di Jepang rendah, karena justru MSG ditemukan pertama kali di Jepang. “Ajinomoto sudah 110 tahun memproduksi bumbu masakan, salah satunya MSG. Dan Ajinomoto Indonesia melakukan ekspor ke Jepang, karena mereka sudah tidak memproduksi MSG,” jelas dia.

Fachrurozy menambahkan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) seperti, MSG atau vetsin di industri pangan diatur dengan ketat dan baik oleh BPOM dengan kaidah penggunaan batas maksimum. Sebagai contoh MSG, merupakan BTP yang berfungsi untuk menguatkan rasa UMAMI atau gurih.

Menurutnya, MSG yang komponen terbesarnya adalah 78% glutamat merupakan asam amino esensial yang juga dihasilkan oleh tubuh. MSG sebagai BTP memiliki ADI (acceptable daily intake) not specified. Kelompok BTP dengan ADI not specified, menunjukkan bahwa BTP tersebut digolongkan pada  BTP yang toksisitasnya sangat rendah berdasarkan data kimia, biokimia, toksikologi dan data lainnya. Jumlah asupan BTP tersebut menurut WHO tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan.

Sementara Head of Strategic Planning and Information System PT Sasa Inti Sutjipto Susilo mengatakan, glutamat merupakan nutrisi bagi otak manusia. Bahkan zat glutamat acid ini banyak terdapat di beberapa suplemen kesehatan.  “Glutamat acid yang terdapat di MSG, seperti daging, ikan, tomat, dan brokoli prinsipnya sama. Setelah diserap tubuh akan menjadi asam glutamat yang diperlukan oleh tubuh,” kata dia di sela acara diskusi.

Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat khususnya bagi kaum milenial, produsen bumbu penyedap rasa ini menggelar event yang sifatnya fun. Program ini, lanjut Sutjipto, digelar di sebuah pusat pembelanjaan di Jakarta (Plaza Indonesia). Di acara ini, para pengunjung bisa berfoto dengan produk ‘Sasa’. “Kaum milenial bisa berfoto dan kesan seram yang terdapat di MSG bisa hilang,” kata dia.

Hardi menyarankan untuk menangkal isu negatif MSG di kalangan kelas menengah atas dan milenial perlu pendekatan edukasi yang berbeda. “Edukasi untuk milenial dan kelas menengah atas mesti di kanal online, melalui video singkat, infografis. Jangan disertai dengan iklan dulu. Karena mereka mudah kecewa jika dalam edukasi ada label merek,” paparnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.