Toleransi Merek

Marketing.co.id- Suatu hari belum lama ini, seorang pebisnis sengaja terbang dengan maskapai AirAsia untuk melakukan perjalanan  bisnisnya dari Jakarta ke Singapura. Ia ingin merasakan pengalaman naik pesawat bertarif murah. Dalam perjalanan berangkat tidak ada masalah yang dirasakannya. Ia membeli tiket di bawah harga kompetitor, check in dengan tarif standar bandara Soekarno-Hatta, self service, dan sejumlah uang tambahan untuk membayar makanan di dalam pesawat.

Namun, betapa kagetnya ia ketika hendak memasukkan tas ke bagasi saat pulang dua hari kemudian. Ia dimintai uang khusus bagasi yang jumlahnya disesuaikan berat tas tersebut. Apa yang terjadi? “Saya tidak mau membayar!” katanya bernada tinggi. “Saya lebih dari mampu untuk membayar, tapi saya tidak mau membayar.” Pebisnis itu menolak mengeluarkan sejumlah uang lagi untuk membayar biaya bagasinya. Mengapa demikian? Sebab pebisnis itu telah menetapkan dalam hatinya bahwa dia hanya mau membayar harga tertentu untuk AirAsia. Jika lebih besar daripada harga yang telah dia tetapkan dalam hatinya, dia tidak bersedia membayar. Pebisnis itu akan bersedia membayar harga yang lebih  tinggi jika dia terbang dengan Garuda Indonesia.

Nah, dari kasus itu bisa dipahami bahwa setiap merek memiliki jenjang toleransi tersendiri dari konsumennya. AirAsia, yang memosisikan diri sebagai penerbangan murah, masih mendapat toleransi ketika maskapai itu memberikan pelayanan yang minimal kepada pelanggannya: makan dan minum harus membeli di atas pesawat, tempat duduk ditentukan sesukanya. Itu masih mendapat toleransi dari konsumen, karena tarifnya murah. Tapi, begitu konsumen diwajibkan membayar biaya bagasi,  bisa jadi konsumen keberatan.

Artinya, batas toleransi konsumen hanya sampai pada rendahnya pelayanan serta makanan dan minuman yang tidak diberikan, namun tidak termasuk biaya bagasi. Konsumen pasti kecewa kalau biaya yang dikeluarkan menjadi sama dengan maskapai full service airline, seperti yang dirasakan pebisnis tadi. Toleransi merek ini mirip ban mobil yang jika terus ditambah angin pasti bisa meletus. Ada batasan yang harus dimengerti saat konsumen bias memberikan toleransi terhadap merek kita.

Di pasar otomotif, misalnya, tahun lalu konsumen harus membayar sekitar Rp 116,5 juta untuk satu unit KIA Picanto, city car 1.100 cc yang terkenal paling irit dan paling nyaman di kelasnya hingga saat ini. Tahun ini, dengan perubahan sedikit desain dan fitur serta penambahan kapasitas mesin menjadi 1.300 cc, konsumen tetap bersedia membeli KIA Picanto dengan harga yang lumayan “melompat” menjadi sekitar Rp 135 jutaan.

Mengapa konsumen bersedia membeli KIA yang berasal dari Korea Selatan itu? Yang pertama, harganya kompetitif. Kedua, konsumen sudah merasakan bahwa kendaraan itu paling irit di kelasnya. Ketiga, kualitas teknisnya sudah tidak kalah dengan merek Jepang. Keempat, kenyamanan yang tak kalah dengan yang lain. Kelima, desainnya menarik. Keenam, biaya perawatannya lebih murah daripada kompetitor, berbanding terbalik dengan persepsi yang ada selama ini. Ketujuh, garansi mesinnya sampai lima tahun.

Dengan kelebihan seperti itu, konsumen rela membayar sekian rupiah untuk mendapatkan KIA Picanto. Bahkan, konsumen pun tidak peduli jika harus membayar sekitar Rp 20 juta lebih mahal daripada tahun lalu. Tapi, KIA Picanto akan mendapat masalah jika harga yang ditetapkan lebih dari itu. Sebab kompetitornya dari Jepang juga memiliki produk yang berada di kisaran harga tersebut. Apalagi citra merek dari Negeri Sakura sudah dianggap nomor satu di pasar otomotif Indonesia.

Produk-produk Cina sampai hari ini masih sulit bertengger di harga yang lebih mahal daripada produk dari negara lain. Selain memang harga produksinya yang lebih murah, secara umum kualitas produkproduk dari Negeri Tirai Bambu dianggap masih minim. Oleh karena itu, mungkin Anda akan mundur jika mendapat tawaran harga yang hampir sama dengan  banderol Apple iPad untuk sebuah produk dari Cina. Karena toleransi Anda terhadap merek itu tidak sama dengan toleransi terhadap iPad.

Tentu saja, ini terkait dengan ekuitas merek. Merek yang telah memiliki ekuitas tinggi akan memperoleh toleransi dari konsumen yang lebih besar. Konsumen akan memberikan pemakluman atas banderol harga yang ditetapkan. Begitu pula sebaliknya, merek bisa jadi tidak mendapatkan toleransi sama sekali dari konsumen karena ekuitasnya masih terlalu rendah, kualitasnya belum teruji, pelayanannya standar, tidak ada lebihnya dibanding pesaing. Bahkan, kita bisa melihat bahwa toleransi pun akan tetap diberikan walaupun merek tersebut sudah lama tidak melakukan kegiatan promosi intensif. Lihat saja, konsumen masih mengenal Dji Sam Soe walaupun umurnya sudah 98 tahun; Batik Keris yang sudah berumur 91 tahun ternyata sampai sekarang masih berkibar walaupun perusahaan tersebut masih dikelola secara tradisional. Ataupun misalnya es krim Ragusa yang sudah berumur 79 tahun ternyata masih bertahan. Hal tersebut membuktikan toleransi konsumen masih besar, walaupun merek sudah berumur. Ini tentu saja karena merek tersebut ekuitas mereknya masih kuat dan pernah sangat kuat pada zaman dulu.

Oleh karena itu, sebagai pemasar andal, gunakanlah strategi yang jitu, manfaatkan atribut pemasaran secara maksimal, sehingga merek Anda benar-benar memiliki ekuitas nomor satu di pasar. Ingat, merek yang kuat akan mendatangkan loyalitas pelanggan yang berkesinambungan. Bahkan, pelanggan tidak hanya akan melakukan pembelian berulang, tapi bisa membentuk komunitas konsumen yang menyebar. Merek yang kuat akan mendatangkan margin yang lebih tinggi, karena sekali lagi, konsumen memberikan toleransi terhadap merek itu. Jika ekuitas merek meningkat, toleransi konsumen pun akan meningkat terhadap merek Anda.

Oleh: Darmadi Durianto

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.