Turunnya Suku Bunga Positif Bagi Pertumbuhan Hunian Vertikal

Terus turunnya suku bunga Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang telah melonggarkan suku bunga acuannya akan menjadi hal positif bagi pertumbuhan hunian vertikal.    

Marketing Director Green Pramuka City Jeffry Yamin mencatat tren positif pertumbuhan penjualan hunian vertikal di Jakarta mulai terjadi sejak semester kedua tahun ini dan diprediksi akan terus terjadi hingga tahun depan.

“Saya optimis pertumbuhan hunian vertikal akan semakin positif terutama pada tahun depan mengingat pemerintah konsisten dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan konsumsi di dalam negeri,” ujarnya, Kamis (05/10/17).

Jeffry mencatat pasar tentu menyambut gembira keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang kembali memangkas suku bunga acuan BI yang berlaku efektif sejak 25 September 2017.

Biasanya, lanjut Jeffry, pihak perbankan tidak butuh waktu lama segera merespon penurunan tersebut dalam bentuk suku bunga KPA. “Sudah pasti industri properti akan langsung merasakan manfaat tersebut karena konsumen yang sebelumnya menahan keinginan belanja properti akhirnya mendapat kelonggaran.” 

Menurut dia pasar properti di Jakarta yang sempat stagnan sejak 2014 hingga 2016 dan awal 2017 mulai bergeliat. Diprediksi menjelang akhir tahun 2017 semakin optimis setelah melalui Pilkada DKI yang membuat konsumen memilih menahan keinginan investasi mereka pada hunian vertikal.

“Sementara mulai semester kedua tahun ini, konsumen mulai berani berinvestasi pada hunian vertikal di tengah Jakarta yang strategis, terjangkau dan efisien dibandingkan jika mereka memiliki hunian di pinggiran Jakarta,” papar Jeffry Yamin.

Hal ini dapat di buktikan dengan habis terjualnya 100 % unit studio di Green Pramuka City seharga Rp. 400 jutaan hingga Agustus 2017. Menariknya Jeffry Yamin mencatat hunian vertikal di pinggiran Jakarta justru didominasi oleh pasar yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke atas terutama untuk yang harganya di atas Rp 1,5 miliar per unit yang tidak menjadikan kemudahan akses transportasi ke pusat bisnis Jakarta.

Sebaliknya hunian vertikal menengah di bawah Rp1 miliar yang justru terus tumbuh bahkan lebih besar dari rumah tapak (landed house) kelas menengah karena tren tinggal di apartemen semakin meningkat. Hal ini tidak lepas dari semakin menariknya pola pemasaran yang ditawarkan sebagai contoh harga  sebuah rumah tapak tipe 36 non-furnished yang lebih mahal dibandingkan unit apartemen dua kamar tidur fully furnished.

Belum lagi tawaran kemudahan dari integrasi fasilitas dan keamanan yang lebih terjamin membuat pilihan tinggal di hunian vertikal yang dekat dengan pusat kota Jakarta menjadi pilihan yang sulit untuk dilewatkan.

Sementara hunian vertikal bagi pasar menengah yang ditawarkan di luar Jakarta dengan iming-iming kota satelit justru merupakan proyek yang baru dalam taraf rencana. Artinya masih butuh waktu cukup lama hingga properti tersebut benar-benar diwujudkan.

“Dengan jauhnya jarak dengan kantor yang umumnya berada di pusat kota Jakarta membuat kemampuan mobilitas para penghuni hunian vertikal justru akan menurun dan tidak efisien secara langsung,” pungkasnya.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.