Uang Receh

Kehadiran uang logam di tengah-tengah masyarakat memang seperti anak tiri. Sebagian besar masyarakat kita tidak suka menyimpan uang logam. Selain nilainya kecil, menyimpan uang logam memang merepotkan!

Lucunya, banyak konsumen kita menggerutu jika diberi permen sebagai pengganti kembalian uang receh. Orang Indonesia banyak yang tidak suka mendapat uang kembalian belanja dalam bentuk permen. Konsumen mencurigai bahwa toko tersebut mengambil keuntungan tambahan saat mengganti receh dengan permen. Selain itu, konsumen juga merasa dipaksa untuk membeli permen, yang belum tentu mereka suka.

Padahal ketika mendapatkan uang koin kembalian, sebagian dari kita merasa tidak berguna menyimpan uang logam dalam waktu yang lama. Bahkan, pengemis dan tukang ngamen pun merasa terhina jika diberi uang Rp 50 atau Rp 100. Akibatnya, uang receh tersebut tercecer tanpa tujuan yang jelas.

Di dunia marketing, uang receh punya peran dalam pembentukan odd price. Orang Marketing senang menggunakan odd price, yakni harga psikologis untuk membuat konsumen merasa bahwa produk yang dibeli tidak mahal. Kita bisa melihat odd price ini di ritel seperti 9.999 atau 5.555. Selain membuat produk terkesan tidak mahal, odd price diperlukan untuk menjaga harga agar tetap kompetitif dibandingkan kompetitor. Survei di AS menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen harga di ritel ternyata mempergunakan odd price.

Dari mana asal odd price? Cerita menarik soal ini saya temukan di internet, sekalipun saya tidak tahu benar-tidaknya cerita ini.

Ada seorang pemilik koran di Chicago bernama Melville Stone. Ketika dia mulai menjual koran tersebut pada tahun 1875, harganya cukup murah dan bisa dibayar dengan uang receh logam. Selama bertahun-tahun dia menjual koran, sirkulasinya terus meningkat. Namun pada satu titik, secara perlahan oplah korannya terus mengalami penurunan.

Stone pun mencoba melakukan riset kepada konsumen, mengapa mereka tidak lagi membeli korannya. Hasilnya, permasalahan utama ternyata tidak pada kualitas koran, namun ada pada keterbatasan supply uang receh di Chicago. Konsumen kesulitan mendapatkan uang receh untuk membeli korannya.

Apa yang dilakukan Stone? Dia pergi ke Philadelphia dan mentransfer uang receh dalam jumlah besar ke rekeningnya di Chicago. Dengan demikian, Chicago akan mendapatkan supply uang receh yang cukup banyak.

Namun permasalahannya, bagaimana caranya agar uang receh ini bisa terus berputar di masyarakat? Dia kemudian mendorong toko-toko di Chicago untuk menjual barang-barang dengan harga yang aneh, seperti US$ 8,99 ketimbang mempergunakan US$ 9. Dengan demikian, konsumen akan mendapatkan uang kembalian dalam bentuk receh dan uang receh tersebut bisa dipergunakan untuk membeli korannya!

Lalu, apa kaitan antara odd price dengan Bank Indonesia?

Dengan semakin banyaknya odd price di ritel, sebenarnya menciptakan permintaan akan uang receh dalam jumlah besar kepada BI. Peritel akan menukar uang untuk mendapatkan uang receh. Kemudian, uang receh itu diberikan sebagai kembalian kepada konsumen (khususnya mereka yang marah-marah karena uang kembaliannya ditukar permen).

Uang receh tersebut ternyata tidak dipergunakan untuk belanja, karena konsumen malas menyimpan uang logam dalam jumlah banyak. Mereka kembali membayar dengan uang kertas pada saat berbelanja. Di mana uang receh tersebut berada? Konsumen memberikannya sebagai sumbangan atau bahkan hilang karena mereka menyimpannya secara sembarangan. Akibatnya, uang receh mengalami perputaran yang sangat lambat dalam ekonomi.

BI selalu kebingungan. Pada saat BI mengeluarkan uang receh, ternyata uang yang kembali ke BI sangat sedikit. Akibatnya, begitu ada permintaan uang receh, seperti ketika Lebaran, BI kembali harus mencetaknya. Hal ini lama-kelamaan bisa memicu inflasi.

Tak mengherankan, BI senang sekali ketika para relawan galang koin untuk Prita (ingat kasus Prita Mulyasari dan Omni?) berhasil mengumpulkan uang receh senilai Rp 650 juta ke BI. Artinya, ada uang receh di luar yang kembali ke BI, sekalipun kabarnya pegawai BI harus lembur 5 hari untuk menghitung uang receh tersebut!

Inilah barangkali sumbangan odd price dalam inflasi. Mungkin akan lebih berguna jika kembalian receh ditukar permen. Konsumen bisa lebih merasakan manfaatnya dibandingkan membuang-buang uang receh secara tidak produktif. Namun itulah konsumen, mereka memang bukan ekonom dan lebih senang membuang uang receh secara percuma dibandingkan merasa tertipu oleh kasir. (Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.