Unilever Kembangkan Teknologi Pengurai Kemasan Sachet

Miliaran kemasan sachet (plastik fleksibel) sekali pakai diproduksi tiap tahun, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan konsumen di negera berkembang umumnya menyukai membeli produk kemasan sachet, karena sesuai dengan daya beli mereka. Namun kondisi ini menyebabkan dampak lingkungan, karena kemasan sachet tidak didaur ulang. Pemulung atau pengelola bank sampah enggan menggumpulkan sampah kemasan sachet karena tidak memiliki nilai ekonomi.

Unilever Indonesia sebagai perusahaan FMCG (Fast Moving Consumer Goods) yang banyak memproduksi produk dalam kemasan sachet berupaya mengatasi tersebut dengan mengembangkan CreoSolv Process, teknologi yang mampu mendaur ulang kemasan sachet. Teknologi hasil kerja sama dengan Fraunhofer Institute di Jerman ini diklaim yang pertama dikembangkan di Indonesia.

Anton Harjanto, Head of Circular Economy, Manufacturing Sustainability and Renewable Energy SEAA Project Unilever menjelaskan, CreoSolv Process fokus pada daur ulang polietilena karena 60% kemasan sachet terbuat dari polietilena. Hasil daur ulang polietilena adalah polietilena film (lapisan plastik) yang sepenuhnya dapat digunakan kembali. Residu lapisan plastik  dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan seperti palet plastik.

“Pelarut yang digunakan untuk mendaur ulang aman manusia dan hewan. Proses daur ulang tidak menghasilan limbah,” tutur Anton saat jumpa pers di Jakarta, Rabu, 17/5/17.  Anton menambahkan, saat ini Unilever Indonesia telah membuka pabrik percontohan CreaSolv Process di Jawa Timur. Pada tahap awal uji coba, teknologi ini bisa menyerap 3 ton sampah kemasan plastik sachet per hari.

Sementara pada skala komersial, teknologi ini berpotensi mengurangi dampak C02 sebesar 7.800 ton per tahun untuk setiap operasi, setara dengan 8.200 ton plastik sachet. Setelah uji coba pabrik percontohan ini selesai Unilever rencananya akan mengoperasikannya pabrik secara komersial.

Dari Ekonomi Linier Menjadi Ekonomi Sirkular

Anton Harjanto, Head of Circular Economy, Manufacturing Sustainability and Renewable Energy SEAA Project Unilever (kiri) dan Ilyas Asaad Staf Ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melihat maket pabrik CreaSolv Process
Anton Harjanto, Head of Circular Economy, Manufacturing Sustainability and Renewable Energy SEAA Project Unilever (kiri) dan Ilyas Asaad Staf Ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melihat maket pabrik CreaSolv Process

Permasalahan sampah dan keterbatasan energi menuntut perubahan paradigma pembangunan ekonomi dari liner ke sirkular. Pada paradigma ekonomi linier, nilai ekonomis produk akan habis setelah digunakan. Sementara pada ekonomi sirkular, produk yang sudah tidak terpakai atau sudah habis masa pakainya bisa dimanfaatkan kembali menjadi produk yang bernilai ekonomi.

Untuk membangun sirkular ekonomi membutuhkan peran berbagai pihak, seperti pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Bagi masyarakat upaya sederhana yang bisa dilakukan memilah sampah. Selain itu, masyarakat juga bisa mendirikan bank sampah yang bernilai ekonomi. Di sisi lain, dunia usaha bisa menciptakan teknologi ramah lingkungan seperti yang dilakukan Unilever Indonesia dengan mengembangkan teknologi CreoSolv Process.

“Dengan pendekatan ini, jejak lingkungan dapat ditekan, dan tercipta nilai ekonomi yang berpotensi menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat, industri daur ulang dan pemangku kepentingan,”tutur Sancoyo Antarikso, Governance and Corporate Affairs Director Unilever Indonesia.

Hingga saat ini Unilever Indonesia memiliki 1.630 Bank Sampah yang berlokasi di 17 kota. Upaya lain yang dilakukan Unilever Indonesia Trashion, sebuah program yang membantu kaum perempuan untuk untuk menciptakan produk mode yang terbuat dari sampah produk Unilever.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.