Wabi-Sabi: Konsep Imperfeksi pada Produk Jepang

Tanpa diragukan lagi, Jepang merupakan negara yang sangat mengagumkan. Budaya maupun produk-produk keluaran negeri matahari ini tidak perlu diragukan kualitasnya. Mulai dari bagaimana produksi dilakukan hingga etika kerja yang sangat luar biasa terkadang membuat orang mengernyitkan dahi. Apa sebenarnya konsep yang diterapkan oleh orang Jepang?

Salah satu konsep yang dikenal dari negeri Sakura ini adalah Wabi-Sabi, yang berarti keindahan dari ketidaksempurnaan. Konsep Wabi-sabi memiliki pandangan bahwa kesempurnaan tidak diraih dengan menjadi sempurna, namun menyisakan ketidaksempurnaan tersebut. Wabi-sabi memiliki tiga “aturan” dasar, yaitu: Nothing is perfect, nothing is finished, and nothing lasts.

Satu dari banyak produsen yang menerapkan konsep ini kepada produknya adalah The Real McCoy’s, yang dikepalai oleh Hitoshi Tsujimoto. McCoy’s sendiri adalah sebuah produsen pakaian asal Jepang yang fokus terhadap replika pakaian yang dipakai pada masa lalu.

Produknya yang menggunakan konsep Wabi-sabi adalah The Real McCoy’s Jeans Lot 003, sebuah replika jeans era perang dunia ke II. McCoys sendiri cukup ketat mengenai reproduksi barang yang mereka lakukan, detil-detil seperti jenis benang, jahitan tidak merata, dan bentuk kantong asimetris sengaja dibuat  demi mencapai konsep “The beauty of imperfection” ini. Setiap produk diklaim memiliki sedikit perbedaan karena hasil tangan manusia yang tidak sempurna. Perbedaan ini pula yang membuatnya unik dan berbeda satu dengan yang lain.

Walaupun demikian, produksi yang tidak rapi tak lantas membuat produk semacam ini  ditinggalkan. Hal-hal demikian yang justru membuat konsumen produk jeans Jepang tertarik dengan nilai-nilai seni produksi yang mereka anggap autentik. The Real McCoy’s Lot 003 dibandrol dengan harga yang cukup tinggi, yaitu sekitar 31.500 Yen untuk sebuah celananya.

Konsumen menganggap ketidaksempurnaan tersebut juga merupakan bukti bahwa dalam proses produksinya, produsen menghadirkan “sentuhan manusia” yang tentu saja tidak sempurna pada setiap pengerjaannya. Jadi, bukan hanya sekadar “muntahan” mesin yang langsung dijual banyak di pasaran. Sentuhan tersebut juga menambah kesan personal pada setiap produknya.

Kalau sudah demikian, siapa sangka imperfeksi dapat menjadi sebuah karya yang dinilai mahal oleh masyarakat?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.