YLKI e-Commerce Masih Rawan Penipuan

Ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang, serta keamanan transaksi merupakan pengaduan yang umum terjadi di e-commerce. Seperti apa sebenarnya perlindungan terhadap konsumen e-commerce?

Husna Zahir, Pengurus Harian YLKI
Husna Zahir, Pengurus Harian YLKI

Jika bicara tentang pengaduan atau penanganan komplain konsumen, kita teringat YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Organisasi nirlaba ini sekian tahun ini setia mendampingi konsumen yang merasa dirugikan oleh perusahaan.

Husna Zahir, Pengurus Harian YLKI mengatakan, e-commerce rawan penipuan. Ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang, serta keamanan transaksi adalah yang paling banyak dikeluhkan. Mereka sudah membayar tapi barang tak kunjung datang.

Tahun 2013, YLKI sedikitnya menerima 13 pengaduan dari konsumen e-commerce. Dari jumlah tersebut hanya seperempatnya saja yang dapat diselesaikan.

Lebih dari separuhnya dapat dikategorikan penipuan, karena barang tidak diterima meski uang telah dikirimkan, sementara pelaku bisnisnya tidak dapat ditelusuri.

Tingginya pertumbuhan jumlah pengguna internet di Indonesia juga diiringi dengan peningkatan volume transaksi yang semakin pesat melalui media internet, e-commerce. Permasalahannya, pelaku e-commerce bukan hanya perusahaan melainkan juga individu, people-to-people. Mereka menganggap ini adalah peluang atau sebagai pekerjaan baru untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Menurutnya, ini menjadi persoalan tersendiri. Jika terjadi masalah akan sulit untuk ditindaklanjuti. Beberapa keluhan konsumen tidak bisa diproses karena tidak jelas (fiktif) perusahaannya.

YLKI menghimbau sebelum melakukan transaksi, ketahui betul perusahaan atau penyedia produk yang akan dikontak, pastikan perusahaannya jelas. Jika hanya terpaku pada website dan email saja, itu tidak bisa memberi jaminan jika nantinya terjadi masalah.

Selain itu, pastikan rekening atas nama perusahaan, minimal itu terdata. Karena jika nama perorangan berpotensi sulit untuk ditindaklanjuti. Bank tidak sembarangan memberikan idetitas pemilik rekening karena alasan privasi. Bank hanya akan bertindak bila kasus tersebut dipidanakan terlebih dahulu, dan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

“Kami pernah mendapat beberapa pengaduan dari luar negeri lewat email. Mereka menyebutkan nama dan rekening, setelah ditelusuri ternyata tidak ada – fiktif. Kemudian kami melanjutkan penelusuran ke perdagangan ternyata nihil juga. Risiko-risiko seperti ini masih ada,” terangnya.

Untuk mengantisipasi hal itu menurutnya, pastikan perusahaaan yang akan bertransaksi dengan kita jelas dan terdaftar. Dengan begitu konsumen memiliki kepastian apabila terjadi sesuatu. Mereka terlindungi.

Perlindungan terhadap konsumen.

Penggunaan internet yang semakin luas ke berbagai bidang telah mengubah pandangan manusia. Kegiatan-kegiatan yang awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia maya.

Popularitas internet seakan telah membuat dunia semakin menciut dan semakin memudarkan batas negara. Perkembangan perdagangan yang terjadi saat ini telah mengubah paradigma bisnis antara pelaku usaha dan konsumen. Peralihan transaksi konsumen dari cara tradisional ke “dunia virtual”.

Berkembanganya cara transaksi e-commerce merupakan revolusi terbesar yang diikuti oleh masalah hukum yang muncul dari terjadinya transaksi ini, karena belum adanya perlindungan terhadap konsumen e-commerce.

Tak dipungkiri ragam persoalan pun mencuat akibat lemahnya posisi konsumen dalam transaksi e-commerce. Ditambah pula dengan ketidaktahuan konsumen ke mana harus mengadu ketika masalah muncul.

Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting. Pertama, pengakuan transaksi elektronik dan dokumen eletronik dalam rangka perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.

Kedua, diklasifikasinya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya. Dengan begitu setidaknya kegiatan e-commerce mempunya basis legal.

Sementara, undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8  Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen di antaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa.

Undang-Undang ini juga menjelaskan mengenai hak untuk memilih barang atau jasa, serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Konsumen juga berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mestinya.

Huzna menambahkan meski undang-undangnya sudah ada, perlindungan hukum terhadap konsumen masih belum cukup kuat.  Undang-undangnya harus dipertajam lagi. “Kami terus berdiskusi dengan pihak terkait, apakah ini akan menjadi satu undang-undang sendiri,” jelas Huzna.

Menariknya,meskipun hanya satu pasal, dalam undang-undang perdagangan yang baru sudah ada yang menyinggung soal e-commerce. Sekarang tinggal bagaimana itu diturunkan dengan peraturan pemerintah dan menteri terkait untuk memastikan itu bisa dijalankan dan melindungi konsumen.

Pada akhirnya, harus ada peraturan yang jelas untuk melindungi kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual. Hanya dengan begitu e-commerce dapat tumbuh secara maksimal seperti yang diperkirakan banyak pihak.

Artikel ini pertama kali muncul di Majalah Youth Marketers edisi 07, klik di sini untuk melihat artikel asli dan artikel menarik lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.