Tidak Ingin Gagal Dua Kali

Tidak Ingin Gagal Dua KaliDi saat ritel-ritel online menikmati manisnya belanja online, peritel besar terkesan masih berpuas diri dengan kinerja gerai konvensional mereka. Mereka masih menunggu berbagai kendala yang masih menghambat perkembangan e-commerce di Indonesia beres semua.

Perusahaan besar kadang tidak selincah perusahaan kecil dan menengah dalam memanfaatkan e-commerce. Hal ini bisa kita lihat pada kasus perusahaan ritel. Raksasa ritel seperti Giant, Carrefour, Hypermart, dan Hero terkesan masih adem ayem soal e-commerce. Saat peritel online skala UKM menikmati keuntungan berdagang di internet, peritel seperti Giant, Carrefour, Hypermart, dan Hero—yang memang pada dasarnya ritel konvensional—masih terpaku dengan gerai fisik.

Peritel seperti Hypermart sebenarnya bukan memandang sebelah mata e-commerce dan tidak berbuat apa-apa di e-commerce. Danny Konjongian, Director Corporate Communication PT Matahari Putra Prima Tbk, mengatakan Hypermart telah menerapkan e-commerce sejak tahun 2004 lalu di situs hypermart.co.id.

Hasilnya ternyata belum sesuai harapan. Dari total penjualan kotor Hypermart yang sebesar Rp12 triliun, hampir 99% disumbang oleh penjualan konvensional. Konsumen Hypermart, jelas Danny, masih lebih suka datang dan berbelanja ke toko setelah melihat iklan promosi di surat kabar, melihat katalog. “Hanya bersifat brick and mortar, masih sangat konvensional,” jelas Danny yang diwawancarai di kantor pusat Matahari Putra Prima, di Karawaci, Tangerang.

Harus diakui, peritel besar seperti Hypermart memang tidak mudah mengaplikasikan e-commerce, karena wilayah operasinya sangat luas (nations wide) dan menyasar mass market. Berbeda dengan peritel UKM yang umumnya menggarap segmen yang lebih nieche dengan produk-produk spesifik. Apalagi sejak awal mereka sudah menetapkan internet sebagai habitat bisnis mereka.

Hambatan lain bersifat eksternal, yakni terlalu luasnya wilayah Indonesia dan infrastruktur yang belum memadai. Tidak usah jauh-jauh berpikir bagaimana mengirim barang ke pembeli nun jauh di luar Jawa, di Jakarta saja masih mengalami kesulitan. “Di Jakarta saja terkadang masih sulit menemukan sebuah alamat. Bahkan GPS pun kadang tidak bisa berfungsi, karena banyak gang yang tidak terdeteksi di GPS,” jelas Danny.

Faktor lain yang menghambat pertumbuhan e-commerce adalah leletnya sambungan internet di Indonesia dan payment gateway. Tidak bisa dikesampingkan pula perilaku belanja masyarakat Indonesia yang masih bersifat “seeing is believing”. Konsumen Indonesia, menurut Alberto Diaz Tai, GM Customer Loyalty Department PT Matahari Putra Prima Tbk, belum terbiasa berbelanja online melalui PC atau ponsel. Mereka belum sreg jika berbelanja tidak datang ke toko dan melihat langsung barang yang akan dibeli.
Berbagai faktor di atas membuat Hypermart tidak mau gegabah atau terburu-buru masuk e-commerce. Pihaknya lebih memilih melakukan uji coba e-commerce secara terbatas di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung.

Seperti dikatakan Danny dan Alberto, Hypermart harus hati-hati masuk e-commerce. Apalagi Lippo Group—induk Hypermart punya pengalaman buruk di e-commerce. Lippo pernah meluncurkan Lipposhop tahun 1999, namun gagal karena pasar yang belum siap.
Tidak ingin gagal dua kali Hypermart, kata Danny, akan fokus menggarap e-commerce jika segala sesuatunya sudah siap. Ia tidak memungkiri kontribusi e-commerce kelak akan menyamai toko konvensional, dengan catatan masalah infrastruktur, pengiriman, dan sambungan internet yang masih lambat teratasi. “Ini bisnis yang sangat serius dan kami percaya potensinya masih sangat besar,” tegas dia.

Kartu Membership Digital

Sambil menunggu kesiapan konsumen dan infrastruktur pendukung e-commerce, Hypermart melakukan digitalisasi kartu keanggotaan HiCard. Bekerja sama dengan Powa Technologies Group, Hypermart meluncurkan HiCard-PowaTag, sebuah mobile application yang bisa diunduh melalui ponsel cerdas berbasis Android, BlackBerry, dan iOS (iPhone).

Konsumen yang sudah mengunduh aplikasi ini bisa menikmati distribusi dan penukaran kupon belanja secara online di 48 gerai Hypermart. Dengan aplikasi tersebut konsumen bisa mendapatkan kupon belanja dan penawaran khusus dengan terlebih dulu memindai materi promosi di toko, iklan online, dan iklan cetak melalui ponsel.

Danny menjelaskan, pemutakhiran kartu membership ini menguntungkan Hypermart dan konsumen. Bagi Hypermart bisa menyebarkan kupon dengan lebih cepat, efisien, dan murah karena dilakukan secara elektronik. “Bagi konsumen, mereka tidak perlu lagi kartu keanggotaan fisik dan mereka bisa memanfaatkan kupon diskon belanja dengan menggunakan smartphone,” katanya.

Manfaat lain dari penerapan aplikasi ini, kata Alberto, Hypermart bisa melakukan strategi CRM (customer relationship management) lebih terarah lagi. Hypermart bisa memantau bentuk promosi kupon seperti apa yang digemari konsumen dan toko mana yang paling banyak menyerap kupon tersebut. ”Dengan begitu kami bisa merancang strategi marketing event dan promosi yang tepat sasaran dengan biaya lebih murah,” jelas Alberto.

Danny optimistis migrasi dari kartu fisik ke kartu digital tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Pertimbangannya, penetrasi ponsel cerdas sudah merata di masyarakat Indonesia dan harganya semakin murah, sehingga semua segmen mampu membeli perangkat ini.

Alberto menambahkan, aplikasi tersebut juga bertujuan mendongkrak jumlah anggota HiCard. Dia mengatakan, dengan cara yang sederhana—tanpa perlu mengisi formulir aplikasi dan tanda tangan secara manual, konsumen akan terdorong menjadi anggota. Dia menargetkan aplikasi ini akan meningkatkan jumlah anggota HiCard menjadi 10 juta dalam tiga tahun pertama dan melonjak lagi menjadi 20 juta di tahun kelima.

Lalu, kapan e-commerce-nya? “Ini hanya tahap awal, mungkin 2 atau 3 tahun lagi kami akan memikirkan untuk masuk e-commerce,” kata Alberto diplomatis.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.