Wah, Mobil Akan Kena Pajak Karbon

Tingginya populasi kendaraan di Indonesia berdampak pada tingginya emisi karbon (CO2) di Indonesia. I Gusti Putu Suryawirawan, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik Departemen Perindusrtian, mengatakan di tahun 2020 populasi otomotif roda dua di Indonesia diperkirakan mencapai 87 juta unit dan otomotif roda empat akan mencapai 18 juta unit. Ini baru menghitung jumlah kendaraan di Pulau Jawa, belum termasuk di luar Jawa.

pajak karbon

Kondisi ini berpotensi meningkatkan jumlah emisi karbon, dan jika tidak diatasi akan menghambat pencapaian untuk mengurangi emisi CO2 di tahun 2030. Di tahun 2030, Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 20%.

Otomotif merupakan salah satu sektor yang diminta pemerintah untuk berperan serta dalam pengurangan emisi karbon. Karena itu muncul wacana untuk mengenakan pajak karbon bagi industri otomotif. “Pajak baru bagi mobil keluaran baru bukan hanya pajak mesin, tapi juga pajak emisi karbon,” kata Gusti saat memberikan presentasi di Indonesia Economic Forum, di Hotel Shangrila, Jakarta, Senin (14/11).

Putu mengatakan, saat ini Direktorat Jenderal Pajak dan Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) sedang menyusun skema pajak karbon yang dihitung berdasarkan jumlah emisi karbon per kilometer. “Pengeluaran karbon 0–5 gram per kilometer, 5–10 gram per kilometer, dan seterusnya sedang dihitung pajaknya berapa,” tutur Putu.

Namun dia menegaskan, penerapan pajak karbon jangan sampai menimbulkan gejolak di industri otomotif nasional. Pajak karbon akan diberlakukan jika industri otomotif sudah benar-benar siap. “Yang penting di sini jangan sampai aturan ini jalan (pajak karbon), industri kita tidak siap. Itu lebih penting, supaya kalau ini diterapkan produksi otomotif tidak melorot,” jelas Putu.

Putu menambahkan, penerapan pajak karbon bisa dilakukan paralel dengan penerapan Euro 4. Saat ini, Indonesia masih menerapkan standar Euro 2. Standar Euro 2 berdampak negatif pada kesehatan masyarakat.

Sementara itu, Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gaikindo, menyinggung kerugian yang diderita masyarakat Indonesia akibat gas buang yang tidak ramah lingkungan. Menurut kalkulasi PBB, nilai kerugian mencapai Rp38 triliun per tahun hanya untuk kawasan Jabodetabek. “Kerugiannya sangat besar, karena menghitung berapa besar biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk berobat dan tidak bisa kerja karena sakit terpapar asap buangan kendaraan,” tutur Kukuh.

Bercermin dari angka tersebut, penerapan emisi gas buangan yang lebih ramah lingkungan di Indonesia sangat mendesak. Namun Putu menegaskan, mengurangi karbondioksida tidak hanya menyangkut kualitas bahan bakar, namun juga kesiapan teknologinya.

Penerapan emisi kendaraan bermotor yang ramah lingkungan seperti Euro 4 tidak hanya akan mengurangi emisi gas buang, namun juga menguntungkan industri otomotif nasional. Jika pabrikan otomotif tetap bertahan di Euro 2, mereka  tidak akan bisa mengekspor mobil. “Gaikindo tidak bisa ekspor mobil, akan merugikan industri kita, karena negara tetangga kita sudah menerapkan Euro 4,” imbuh Putu.

Menyinggung soal wacana e-mobility di industri otomotif, menurut Putu, e-mobility adalah konsep kendaraan yang sudah menggunakan IoT (Internet of Things). Namun bahan bakarnya tidak harus listrik, bisa gas atau hybrid. Tujuan e-mobility bagi Indonesia yaitu mengatasi kemacetan dan menghemat bahan bakar.

“Contoh e-mobility, empat bus bisa jalan bareng dengan hanya satu pengemudi, bus di belakangnya tinggal mengikuti. Dampaknya lapangan kerja berkurang. Kalau Eropa menerapkan e-mobility karena di sana susah mencari sopir,” jelas Putu.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.