Branding Yang Menyatukan Kopi Indonesia

Jakarta, 22 November 2018 – Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor kopi terbesar di dunia. Posisi Indonesia berada di peringkat keempat di bawah Brasil, Vietnam, dan Columbia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor kopi nasional pada 2017 tumbuh 12,56% menjadi 464 ribu ton dari tahun sebelumnya. Demikian pula nilai eskpornya naik 17,48% menjadi US$ 1,18 miliar atau sekitar Rp 15,9 triliun.

Amerika Serikat (AS) merupakan pasar kopi terbesar bagi Indonesia. Sedikitnya 63 ribu ton atau sebesar 13% dari total ekspor kopi nasional dikirim ke AS dengan nilai mencapai US$ 256 juta. Negara tujuan ekspor utama kopi Indonesia lainnya adalah Malaysia, Jerman, Italia, Rusia dan Jepang. Luas areal tanaman kopi Nusantara mencapai 1,23 juta hektare (ha), terdiri atas Perkebunan Rakyat 1,18 juta ha, Perkebunan Besar Negara 22.525 ha, serta Perkebunan Besar Swasta 25.493 ha.

Beberapa jenis kopi asal Indonesia yang mashur di dunia antara lain kopi Toraja, kopi Lampung, kopi Mandailing, maupun kopi Aceh, dan kopi luwak Bali. Nah, permasalahan justri muncul di sini, karena penikmat kopi di seluruh dunia lebih mengenal kopi asal daerah-daerah tersebut dibandingkan nama Indonesia. Mereka mengenal kopi Toraja, tapi tidak tahu Toraja adalah nama salah satu daerah di Indonesia.

Berangkat dari kegundahaan ini Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) dan SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia) meluncurkan logo “Kopi Indonesia”. Logo ini menjadi generic branding (merek generik) yang menyatukan kopi Indonesia. Secara grafis logo ini diciptakan dengan mengolaborasi kata ‘Kopi’ dan ‘Indonesia’ yang membentuk gambar sebuah cangkir kopi.

Logo ‘Kopi Indonesia’ didesain sedemikian rupa, sehingga tetap memungkinkan dilakukan penambahan kata daerah asal kopi tanpa merusak estetika desain logo. Dengan demikian logo ‘Kopi Indonesia’ juga menampilkan keunikan daerah penghasil kopi sekaligus menjadi ikon pemersatu kekayaan dan keragaman kopi yang ditanam dan diolah di Indonesia.

Logo Kopi Indonesia menaungi berbagai kopi dari berbagai daerah

Andi dari Pengembangan Pasar Luar Negeri Bekraf, mengatakan selama ini kalangan penikmat kopi di dunia sebenarnya sudah sangat mengenal kopi Indonesia melalui jaringan kedai kopi Starbucks. “Sebagian besar kopi Indonesia digunakan di Starbucks,” tutur Andi Dalam bincang-bincang menyambut peluncuran Logo ‘Kopi Indonesia, di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Lebih jauh dia mengatakan, hadirnya logo Kopi Indonesia akan mempermudah konsumen kopi global lebih mengenal kopi Indonesia. “Ibaratnya seperti Tom Yam yang identik dengan kuliner Thailand, nanti begitu melihat tulisan Kopi langsung tahu itu kopi Indonesia,” imbuhnya.

Daroe Handojo, wakil ketua SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia) mengatakan, latar belakang diluncurkan Logo Kopi Indonesia karena selama ini tidak ada yang namanya kopi Indonesia. Yang ada kopi dari beragam daerah di Indonesia. Ide Logo Kopi Indonesia muncul dalam suatu pertemuan di Kedutaan Besar Indonesia di Praha, Ceko. Ketika itu salah importir kopi merasa bingung dengan keberadaan dan identitas kopi Indonesia. Kemudian salah satu staf kedutaan menyarankan agar dibuat identitas tunggal yang menyatukan beragam kopi Indonesia.

“Sempat terpikir menggunakan kata Kopi Luwak, tapi kopi Luwak sudah merusak kopi Bali. Akhirnya ada yang menyarankan menggunakan kata ‘Kopi’, kata ini hanya digunakan di Malaysia dan Indonesia. Buruan kamu ambil sebelum dipatenkan,” kenang Daroe yang juga pegiat kerjasama lintas lembaga dan komunitas kopi.

Sementara itu, R Yugian Leonardy, Chairman Gravfarm dan pakar pemasaran kopi mengatakan, strategi pemasaran kopi terbagi dua, apakah lebih fokus ke cuan (keuntungan) dan filosofis. “Kalau dari sisi filosofis pasarnya tidak besar segitu-segitu saja, yakni penikmat kopi, barista, roaster, pecinta kopi,” tuturnya.

Suasana bincang-bincang membahas branding kopi Indonesia di Perpusatakaan Nasional, Jakarta Pusat

Dia mengkhawatir tren kopi yang naiknya terlalu cepat, mirip batu akik yang suatu saatnya pasarnya akan jenuh. Lantaran banyaknya masyarakat yang mengonsumsi kopi hanya karena latah atau ikut-ikutan tren. Kondisi pasar seperti ini juga akan berbahaya jika tidak ada standarisasi. “Dari sisi promosi, logo ini bukan hanya untuk menciptakan sustainability growth, tapi juga menjadi legimitasi karya sebuah negara,” tuturnya.

Salah satu pendiri Filosofi Kopi, Handoko Hendroyono, mengatakan kehadiran kedai-kedai kopi di Indonesia seperti Anomali Coffee dan Filosofi Kopi sejalan dengan kebangkitan merek-merek lokal. Dia merasa beruntung karena menggunakan kata “Kopi” dalam mereknya, sehingga mencerminkan Indonesia.

Handoko berbeda pendapat dengan Yugian yang menyatakan tren kopi di Indonesia tidak akan berlangsung lama. “Salah satunya alasannya karena Indonesia non alcoholic country, jadi banyak orang akan minum kopi dan ketagihan,” tuturnya.

Filosofi Kopi terus melebarkan sayapnya dengan melakukan ekstensi merek (brand extension). Dengan merek yang sama, Filosofi Kopi merambah bisnis fesyen. Mengenai rencana membuka kedai Filosofi Kopi di luar negeri agar lebih mudah memperkenalkan merek kopi Indonesia, pihaknya sangat tertarik, asalkan pemerintah membantu memfasilitasinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.