Dari Bantul Menuju Roma

Batik lukis besutan Sugito tidak hanya sukses di pasar lokal, tapi juga melenggang kangkung di pasar Eropa, Amerika, dan Asia. Selain karena kekuatan seninya, kesuksesan Sugito juga didukung oleh jalinan pertemanan yang luas.

Lelaki berkulit sawo matang itu tampak semringah saat memperagakan diri melukis di sebuah kain batik di rumah produksinya. Tangannya begitu cekatan mengayunkan canting di atas kain. Dialah Sugito—seniman batik lukis dari dusun Gunting, Gilangharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Untuk menjangkau rumah produksinya pun tidak gampang. Selain letak yang bersembunyi di balik bukit, orang yang tidak pernah ke sana pun kudu banyak bertanya tentang alamatnya pada orang di jalan.

Tapi, di balik kesederhanaan itu, mungkin banyak orang tak mengira kalau batik-batik besutan Sugito sudah merambah Italia, Prancis, Yunani, dan Amerika Serikat. Batik lukis dengan corak kontemporernya pun sukses menjajaki Singapura, Malaysia, dan Inggris. Belakangan ini, dia juga sering disibukkan dengan pameran berskala nasional dan internasional. Untuk menemui dia pun tak gampang. Majalah MARKETING beberapa kali kudu mengulang janjian ketemu lantaran dia disibukkan dengan pameran di Shanghai. Saat diwawancara pun, seniman batik beraliran ekspresionis ini baru saja pulang dari pameran batik di Jakarta.

Siang itu, Sugito dengan logat Jawa yang kental bertutur tentang usahanya. Sugito memulai karya batiknya pada tahun 1986. Pada dasarnya, Sugito adalah seorang pelukis yang sudah memperkenalkan karya lukis pada tahun 1980-an. Kemampuan melukisnya ini kemudian ia padukan dengan kemampuan membatik sehingga lahirlah batik lukis. Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)—sekarang ISI—ini memulai dengan melukis wajah. “Saat itu, produk saya jajakan di selasar kaki lima Malioboro. Saya mulai bergiat di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) serta bergabung dengan komunitas-komunitas seniman, dari komunitas Tamansari maupun komunitas pasar seni Ancol, Jakarta,” kata Sugito.

Awal usaha, dia bermitra dengan seorang karib yang dikenal sebagai pakar batik. Usahanya mulai bersinar ketika kemampuan batik dan lukis ini dipadukan. Pada tahun 1987, produknya sudah dipasarkan ke Jakarta—tepatnya di Sarinah. Kemitraan ini tidak berlangsung lama dan Sugito mulai menjalankan bisnisnya dengan dibantu oleh Juminah, istrinya. Juminah lebih fokus menggarap batik fesyen. “Gali dan kembangkan kemampuan diri sendiri semaksimal mungkin. Ini yang membuat usaha batik kami bisa besar seperti sekarang ini,” terang Sugito.

Sugito kemudian mencari nama untuk merek produknya. Tercetuslah nama “Pragitha.” Nama ini “pra” berasal dari Pracimosono, tempat kelahirannya di sekitar kraton Yogya. Kata “githa” berasal dari namanya, Sugito. Ia membangun rumah produksi di Pandak pada tahun 1992. Ia pun memberdayakan orang-orang di desanya untuk jadi karyawannya. Pernah ia memiliki 125 karyawan pada tahun 1997.

Pasar paling besar saat itu ada di Bali—sekitar 70 persen. Di Bali inilah, jejaring bisnis dengan pengusaha luar negeri mulai terjalin. Turis-turis pun mulai tertarik menjajal batik-batiknya. Namun, tragedi Bom Bali tahun 2002 membuat pasarnya menyurut. Karyawannya pun berkurang menjadi 25 orang sampai sekarang ini. “Saya sempat berpikir apakah bom itu juga akan mematikan usaha saya. Saya terus berpikir dan berusaha. Ternyata, itu bukan akhir usaha batik ini. Saya membidik Jakarta,” imbuh Sugito mengenang.

Sugito tidak pernah mempromosikan batiknya dengan gembar-gembor iklan. Sebaliknya, pemasaran dari mulut ke mulut yang justru membesarkan nama Pragitha. “Saya sama sekali tidak pernah pasang iklan sejak tahun 1982. Mungkin orang tidak percaya. Tapi, ini kenyataanya,” kata Sugito.

Kekuatan batik Pragitha yang membuat banyak orang mencarinya terletak pada sentuhan seninya. “Batik itu karya seni dan setiap seni itu mempunyai roh,” kata Sugito. Selain itu, batik Sugito mengusung eksklusivitas dalam arti mengusung satu motif untuk satu unit busana.

Di rumah produksi yang berada di pekarangan rumahnya dan dimodali awal dengan uang Rp 20 ribu itu, Sugito berhasil memproduksi ribuan batik lukis ekspresionis dan batik fesyen. Rentang harganya antara puluhan ribu sampai dua jutaan per lembarnya. Strategi harga ini mencakup target konsumen dari semua lapisan. Secara bodon, untuk satu kain lukis ukuran 120 x 200 cm bisa dihargai Rp 5 juta. “Rentang harga ini tergantung dari jenis bahan dan lama proses kreatifnya,” ungkap dia.

Usahanya juga mulai dilirik oleh para desainer dan artis, seperti Ivan Gunawan, Maudy Koesnaedi, dan sebagainya.

Merambah Eropa

Berkat relasinya dengan para turis, baik di Bali maupun di Yogyakarta, bisnis batik tulis Pragitha semakin kinclong. Pada tahun 2002, Sugito mulai memasarkan batiknya ke pasar Eropa dengan bermitra bersama pengusaha di sana, seperti Italia, Perancis, Inggris, Yunani. Berlanjut di Amerika Serikat dan pasar Asia. Sementara, di pasar lokal, ia pun masih menjadi penyuplai batik untuk toko-toko fesyen. Peluang Sugito semakin besar ketika muncul tren saat batik mulai dijadikan suvenir wajib seperti suvenir lainnya. Kesuksesan Sugito juga tidak lepas dari peran pemerintah, khususnya dari Kementrian Budaya dan Pariwisata, untuk memperkenalkan batik ke dunia internasional.

Satu hal yang unik, Sugito sebagai seorang yang berjiwa seni lukis mencoba memadukan kesenian-kesenian lukis dunia dengan batiknya. Sugito mengangkat kembali lukisan bernilai tinggi karya seniman Van Gogh, Pablo Picasso, maupun Leonardo Da Vinci ke dalam motif-motif batik. Jangan heran, jika ada lukisan Monalisa yang tersohor itu muncul sebagai motif batik tulisnya. Sebab itu, Sugito dikenal sebagai pelukis batik Van Gogh yang berhasil merebut hati konsumen Eropa dan Amerika.

Lebih keren lagi, pada hari-hari menjelang Presiden Barrack Obama dilantik, Sugito mengklaim diri telah kebanjiran permintaan untuk batik-batik lukis berwajah Obama untuk dipasarkan di Amerika Serikat sebagai cendera mata. Batik dengan motif Obama ini laku sekitar 300 lembar. Nama Sugito pun kian melambung.

“Saya selalu menerima peluang dari mana saja. Saya mencoba memenuhi permintaan sebaik mungkin,” kata Sugito.

Pada ajang pameran fesyen dan aksesori di SMESCO, Jakarta, 28 Juli–1 Agustus 2010 lalu, batik besutan Sugito mendapat penghargaan batik terbaik dan terbanyak mendatangkan keuntungan, sebesar Rp 300 juta, dalam masa pameran. “Itu karya saya semuanya,” kata Sugito bangga.

Ke depannya, Sugito ingin terus berinovasi sekaligus menangkap peluang bisnis yang lebih besar lagi. Pengalaman Sugito semakin menyadarkan bahwa kesuksesan menjadi sesuatu yang niscaya bila disertai upaya keras. Banyak jalan menuju sukses. Pepatah “banyak jalan lain ke Roma” mendapatkan pembenarannya di sini—termasuk Roma dalam arti yang sesungguhnya. (Sigit Kurniawan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.