Drucker, November 19, 1909 – November 11, 2005

www.marketing.co.id – Jika ada tulisan tentang Peter Drucker di majalah MARKETING rasanya memang tidak salah, mengingat kebesaran namanya yang tidak akan habis dibahas oleh semua isi majalah ini.

Peter Ferdinand Drucker, pakar manajemen terbesar di abad 20, meninggal dunia pada 11 Nopember 2005 silam di rumahnya, Claremont, Los Angeles pada usia 95 tahun.

Drucker dikatakan sebagai perintis manajemen modern. Beliau juga memiliki banyak pandangan yang mempengaruhi dunia, karena banyak pemikirannya yang justru jauh melintasi batas ilmu manajemen. Dia adalah pemikir yang multidisiplin karena mampu berpikir sebagai ekonom, politisi, dan sosiologis.

Namun yang selalu menarik dari diri Peter Drucker adalah kemampuannya menarik segala sesuatunya ke masa depan, atau biasa disebut “visioner”. Ada banyak futuris di periode 90-an seperti Fukuyama, Alvin dan Heidi Tofler maupun John Naisbitt yang pikiran-pikirannya menarik untuk dipelajari. (Jangan dilupakan pula, kita pernah punya seorang visioner, yakni almarhum Soedjatmoko, yang gagasan-gagasannya juga melewati batas-batas waktu.)

Namun dari semua itu, Drucker-lah yang mampu meletakkan visi-visi tersebut dalam konteks pembelajaran ilmu manajemen modern. Dia pun punya pandangan-pandangan penting dalam dunia pemasaran modern. Bayangkan, visinya tentang pelanggan sudah dia miliki sejak tahun 60-an. Sementara di Indonesia, mengistilahkan pasar sebagai pelanggan saja baru mulai berkembang dalam sepuluh tahun terakhir.

Dia misalnya mendefinisikan tujuan marketing sebagai proses untuk mengetahui dan memahami pelanggan dengan baik, sehingga produk dan jasa tersebut dapat sesuai dengan keinginan pelanggan. Pada akhirnya, jika tujuan tersebut sudah tercapai, maka produk/jasa tersebut secara otomatis sudah menjual dirinya sendiri kepada pelanggan.
Drucker pulalah yang mengingatkan pentingnya marketing dalam perusahaan. “Marketing and Innovation are the two chief functions of business. You get paid for creating a customer, which is marketing. And you get paid for creating a new dimension of performance, which is innovation. Everything else is a cost center.”

Jika Philip Kotler dikatakan sebagai Father of Marketing, maka Kotler dengan rendah hati menyebut Drucker sebagai Grandfather of Marketing. “I regard it as a compliment when some people call me the Father of Marketing. I tell them that if this the case, then Peter Drucker is the Grandfather of marketing.”

Salah satu buku yang menjadi favorit saya ketika masih kuliah adalah Post Capitalist Society, yang diterbitkan di awal 90-an. Entah kenapa pada saat itu orang senang dengan istilah “post”. Termasuk pula dengan istilah postmodernisme, filsafat yang ruwet dan membingungkan, tapi orang senang membicarakannya supaya kelihatan pintar.

Post Capitalist Society sebenarnya mewakili ide besar Drucker tentang knowledge society. Istilah capitalist merupakan perwujudan dari ekonomi pasar bebas (free-market) di mana roda perekonomian digerakkan oleh para pemilik modal. Post Capitalist bukan akhir dari era kapitalis, tetapi hanya merupakan pergeseran dari era modal sebagai kekuatan ekonomi pasar bebas menjadi era pekerja. Pada akhirnya, knowledge worker-lah yang kemudian memegang kendali perusahaan.

Zaman sekarang, istilah knowledge worker memang terasa “basi”, tetapi saat itu, pandangan tersebut seolah mengamini kelahiran para knowledge entrepreneur seperti Bill Gates, Steve Jobs, Andy Grove, dan lain-lain. Namun yang menarik, konsep knowledge society ternyata dikaitkan oleh Drucker dengan konsep Corporate Social Responsibility, yang bahkan sudah disebut-sebut dalam buku itu. Mengapa demikian?

Salah satu konsekuensi dalam knowledge society bagi perusahaan adalah bergesernya konsep power based organization menjadi responsibility-based organization. Artinya, organisasi tidak lagi digerakkan oleh kekuasaan tetapi oleh tanggung jawab dari masing-masing individu dalam menjalankan tujuan organisasi. Demikian pula jika kita melihat community, maka di dalam community tersebut terdapat banyak organisasi perusahaan yang masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan komunitas tersebut. Konsep inilah yang kini beken dengan istilah Corporate Social Responsibility. Drucker bahkan menekankan bahwa social responsibility tidak bisa dijalankan secara sembarang tetapi harus dijalankan sesuai dengan relevansi perusahaan. “Organization can only do damage to themselves and to society if they tackle tasks that are beyond their specialized competence, their specialized values, their specialized functions.”

Itulah sebagian kecil saja pemikiran Drucker yang visioner. Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari sosok seorang Drucker? Sebagai pemasar rupanya kita harus mampu memiliki pandangan jauh ke depan agar selalu dapat bertahan dalam jangka panjang. Dan Drucker ternyata telah membuktikannya. Setidaknya, dengan pandangan-pandangan visionernya dia mampu hidup sampai 95 tahun! (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here