Dunia Pendidikan Indonesia, Quo Vadis? (I)

“Pendidikan Indonesia dalam keadaan rusak dan belum diperbaiki.”

www.marketing.co.idOpini mengenai dunia pendidikan Indonesia tersebut terlontar dari mentor saya di dunia akademisi, yang juga menjadi pemerhati dunia pendidikan Indonesia secara intens, Gene Netto. Apa, mengapa dan bagaimana kami bisa terlibat dalam pembicaraan ini? Dan apa hubungannya dengan dunia marketing di Indonesia? Akan saya jabarkan lebih mendalam di alinea-alinea berikutnya.

pic source: Educationjustice.com
pic source: Educationjustice.com

Dunia Pendidikan Indonesia, Quo Vadis? Secara harfiah, Quo Vadis adalah kalimat dalam Bahasa Latin yang memiliki makna “Ke mana engkau pergi?”. Asal kalimat Quo Vadis diambil dari  Kitab Perjanjian Baru di Alkitab Kristen, Injil Yohanes, bab 16 ayat 5.

Kami (Pak Gene dan saya) terlibat dalam pembicaraan ini karena melihat berbagai isu di dunia pendidikan Indonesia yang seakan-akan tidak pernah beres, kalau bukan bertambah buruk. Jadi, dunia pendidikan Indonesia mau dibawa ke mana? Contoh teraktual adalah pelaksanaan Kurikulum 2013 yang carut-marut. Kemudian, apa hubungannya dengan dunia Marketing Indonesia?

Selama ini, Marketing selalu diidentikkan dengan orang-orang kreatif. Seorang marketer harus kreatif dan inovatif. Nah, berhasilkah kurikulum Indonesia menciptakan manusia kreatif dan inovatif yang dibutuhkan di dunia marketing dan mampu memenuhi kebutuhan global? Menurut berbagai indikator resmi, seperti PISA (Programme for International Student Assessment) hingga HDI (Human Development Index), jawabannya masih di bawah nilai tengah alias belum berhasil.

Mau bukti lainnya? Silahkan cek kemampuan diplomasi bangsa Indonesia sebagai bagian dari G20, bangsa terbesar keempat dunia dari sisi populasi dan konon akan menjadi negara makmur pada 2030. Posisi diplomasi kita masih lemah, bung! Saya di sini tidak menafikan peran hebat Pak Ali Alatas, Pak Marty Natalegawa dan Pak Dino Patti Djalal. Mereka adalah para diplomat hebat, namun kita membutuhkan jauh lebih banyak lagi orang seperti mereka.

Untuk memiliki kemampuan diplomasi mumpuni, kita harus punya sikap sangat tenang, kepala dingin, kemampuan memilah data sampah dan data berguna untuk mencari informasi bermanfaat, kemampuan memilih dan memilah masalah agar perumusannya benar-benar jelas. Nah, gimana kenyataannya di lapangan? Fakta dan angka berbicara dan saya miris kalau mau menaruhnya di sini.

Dalam bidang lain, saat kita membandingkan tingkat kreativitas bangsa dengan negara maju, kita jelas kalah. Saya menyaksikan sendiri invasi ekspatriat ke Indonesia beberapa tahun terakhir. Belum lagi invasi merek-merek asing dan berbagai bentuk “asing-asing” yang lainnya. Lokal-lokal ke mana ya? Hal tersebut seakan-akan menjadi penegas tulisan Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland yang berjudul “Why Asians Are Less Creative than Westeners”.

 

Namun, karena saya orang Indonesia, mendapatkan pendidikan tinggi di Indonesia baik dari pemerintah semasa Strata 1 dan swasta semasa Strata 2, maka pada tulisan berikut, dengan bersumber dari “Why Asians Are Less Creative than Westeners”, saya akan lebih menekankan mengapa bangsa Indonesia kalah kreatif dari negara-negara barat.

Berikut ini adalah tulisan saya mengenai perbedaan pola pikir bangsa Indonesia sehingga kalah dari negara-negara Barat:

  1. Secara umum bangsa Indonesia kurang menghargai rasa cinta terhadap sesuatu (passion) dan lebih menghargai kuantitas materi sebagai tolok ukur kesuksesan. Efeknya, profesi yang lekat dengan inovasi dan kreatifitas kalah heboh dengan profesi yang dianggap lebih cepat mendatangkan kekayaan, misalnya penasehat hukum, dokter, dll.
  2. Secara umum bangsa Indonesia lebih menghargai banyaknya kekayaan dan bukannya cara mendapatkan kekayaan. Karenanya kisah-kisah fiksi dengan tema orang miskin mendadak kaya karena kawin dengan orang kaya atau menemukan harta karun menjadi tema favorit. Jadi, tidak heran jika perilaku korupsi seperti dianggap wajar.
  3. Secara umum pendidikan di Indonesia identik dengan hafalan berbasis kunci jawaban, bukan pada pemahaman dan pengertian. Perhatikan saja Ujian Nasional atau Ujian Masuk Perguruan Tinggi yang mayoritas berbasis hafalan. Bahkan untuk ilmu sains juga diwajibkan hafal rumus dan bukan diarahkan memahami bagaimana dan kapan waktu penggunaannya.
  4. Akibat pendidikan berbasis hafalan, kurikulum Indonesia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Kurikulum sepertinya ingin menciptakan “Jack of All Trades” yang sayangnya “Master of None”.
  5. Akibat pendidikan berbasis hafalan, para pelajar Indonesia dapat memperoleh prestasi membanggakan dalam Olimpiade Matematika dan Fisika. Namun, pernahkah ada orang Indonesia yang berhasil memenangkan Penghargaan Nobel yang berbasis inovasi dan kreativitas?
  6. Orang Indonesia takut salah, takut kalah yang berefek kepada sikap reaktif dan takut disalahkan. Efeknya, sifat dan sikap eksploratif sebagai usaha untuk memuaskan hasrat penasaran serta keberanian maju mengambil risiko tidak begitu dihargai.
  7. Bagi mayoritas bangsa Indonesia, bertanya adalah bodoh. Rasa penasaran tidak diizinkan mendapatkan posisi dalam proses belajar mengajar di sekolah.
  8. Karena takut salah, takut kalah, takut dianggap bodoh dalam berbagai kehidupan, khususnya yang erat dengan pendidikan seperti sekolah atau seminar, para peserta jarang bertanya saat sesi berjalan tetapi akan mengerumuni narasumber saat sesi berakhir untuk mendapatkan penjelasan tambahan.

Bagaimana solusinya? Akan saya lanjutkan di tulisan Dunia Pendidikan Indonesia, Quo Vadis? Bagian II (Andika Priyandana – Editor-in-Chief Marketing.co.id)

 

This article powered by eXo Digital Agency. eXo is a digital media agency serving local and international brands ranging from SME (small and medium enterprises) to multinational companies from various industries. We are an all-round agency with tremendous experience in digital activation, social media, search engine marketing, interactive game, web and software development.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.