Memikirkan Ulang Akuntabilitas Digital Advertising

Oleh: Harryadin Mahardika 

Kepala Program Magister Manajemen Universitas Indonesia

Baru saja kita mendengar skandal cukup besar yang melibatkan salah satu perusahaan periklanan raksasa di dunia, Dentsu Inc. Skandal ini sangat menarik karena merupakan skandal besar pertama yang melibatkan praktik digital advertising.

Selama ini kita selalu membanggakan digital advertising sebagai format periklanan yang paling akuntabel dan transparan. Sulit untuk bisa mencari kelemahan format ini dari kedua sisi tersebut, karena semuanya terukur secara realtime dan bisa diakses oleh klien di mana pun dan kapan pun.

digital advertising

Tapi begitu skandal ini terbongkar, banyak dari kita yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah sehingga akuntabilitas digital advertising yang begitu diunggulkan itu akhirnya runtuh juga?

Skandal Dentsu Inc.

Pada tanggal 23 September 2016, Vice President Dentsu Inc. Soichi Nakamoto, mengumumkan hasil investigasi terhadap praktik overbilling dan manipulasi terhadap para klien yang menggunakan jasa digital advertising mereka. Sebanyak 633 kasus overbilling dan manipulasi telah diakui oleh Dentsu. Total kerugian yang diderita oleh klien mereka mencapai 230 juta Yen (atau sekitar Rp30 miliar).

Kasus ini berawal dari laporan salah satu klien terbesar mereka, Toyota Motor Corporation, pada bulan Juli 2016. Toyota menemukan bahwa sebagian dari invoice digital ads yang ditagihkan ke mereka tidak sesuai dengan data aktual yang telah di-cross check. Karena akumulasi ketidaksesuaian jumlah tersebut cukup besar (32 juta Yen), maka Dentsu memutuskan untuk melakukan investigasi internal yang lebih menyeluruh terhadap praktik layanan digital ads yang mereka miliki.

Hasil investigasi menemukan bahwa Toyota bukan satu-satunya klien yang terkena manipulasi ini. Ada 111 klien lainnya yang mendapat permasalahan sama. Temuan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, baik bagi Dentsu maupun bagi industri periklanan digital secara keseluruhan.

Hal yang paling merisaukan adalah bisa hilangnya trust pebisnis terhadap platform digital ads ini. Bagi pasar periklanan digital yang baru tumbuh seperti Indonesia, hilangnya trust tersebut bisa mengancam optimalisasi potensi digital ads dalam jangka panjang. Pemasang iklan akan merasa ragu-ragu untuk menambah proporsi portofolio media channel-nya menjadi lebih besar di media digital.

Selain berpotensi menurunkan trust, skandal ini juga bisa menciptakan persepsi bahwa mengelola, mengevaluasi, dan memonitor sebuah digital ads campaign sangatlah kompleks dan ribet. Akibat persepsi ini, evaluasi dan monitoring menjadi perlu dilakukan dengan ekstra hati-hati, yang ujung-ujungnya memerlukan sumber daya dan biaya tambahan bagi klien. Ini hal yang tidak disukai.

Mengidentifikasi Manipulasi dalam Digital Advertising

Dalam pengumuman hasil investigasi internal oleh Dentsu Inc., diketahui bahwa ada beberapa modus manipulasi yang dilakukan dalam layanan digital ads di  Dentsu. Kita bisa menjadikan ini sebagai bahan pembelajaran untuk bersama-sama menjaga agar digital advertising tetap dipercaya sebagai platform masa depan bagi industri periklanan Indonesia.

Dari temuan Dentsu, setidaknya ada empat situasi yang perlu kita jadikan bahan introspeksi:

Pertama, ditemukan ketidaksesuaian antara target yang disepakati dalam kontrak dan realisasi di lapangan. Beberapa campaign dan project, terutama yang relatif kecil, tidak benar-benar dijalankan. Klien tidak memiliki waktu untuk memeriksa semua campaign dan project tersebut satu per satu.

Kedua, campaign dan project yang telah disepakati tidak dijalankan pada waktu yang telah ditentukan. Menangkap momen (timing) yang tepat adalah hal paling penting dalam digital advertising. Hal ini karena perilaku konsumen berubah secara dinamis dari hari ke hari, jam ke jam, bahkan menit ke menit. Jika perusahaan kehilangan momen tersebut (misalnya iklan yang seharusnya dipasang di momen akhir pekan, namun dipasang di hari kerja), maka efeknya keputusan pembelian konsumen mungkin saja berubah (tidak lagi efektif).

Ketiga, terjadi manipulasi laporan hasil evaluasi dan monitoring dari campaign dan project. Klien diberikan data yang dimake up untuk menunjukkan hasil yang memuaskan dari campaign dan project mereka. Manipulasi ini mudah dilakukan karena klien tidak memiliki waktu untuk melihat ratusan bahkan mungkin ribuan campaign dan project yang ada di dashboard mereka.

Keempat, human error dalam pengelolaan campaign dan project digital ads sangat rentan terjadi. Faktor penyebabnya sederhana, yaitu jumlah campaign dan project yang harus di-handle banyak sekali. Selain jumlahnya yang banyak, diperlukan atensi terhadap detail dan pergerakan real-time. Itu semua membutuhkan konsentrasi tinggi dan stamina yang kuat. Seorang praktisi periklanan digital sering kali tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut, dan akhirnya melepas begitu saja jalannya campaign dan project tanpa pengawasan melekat.

Setelah mengetahui empat titik permasalahan tersebut, maka kita perlu menyiapkan langkah antisipasinya. Langkah antisipasi ini harus datang dari dua arah: dari internal perusahaan periklanan dan dari internal klien. Tidak bisa efektif jika hanya datang dari salah satu saja.

Bentuk antisipasi pertama adalah merancang sistem evaluasi dan monitoring bersama, antara perusahaan periklanan dan klien. Sistem ini harus customized dan fleksibel dengan kebutuhan klien. Sehingga tiap-tiap klien mungkin saja memerlukan sistem evaluasi dan monitoring yang berbeda.

Dengan sistem evaluasi dan monitoring yang dirancang bersama, baik perusahaan periklanan maupun klien bisa lebih mudah dalam merencanakan alokasi resources jauh-jauh hari. Diperlukan resources berupa staf, waktu, dan akses untuk memastikan semua campaign dan project bisa berjalan sesuai dengan kesepakatan yang ada di kontrak.

Antisipasi berikutnya adalah dengan melakukan pemilihan sampling campaign dan project secara random dalam proses reporting. Perusahaan periklanan harus memberi keleluasaan kepada klien untuk memilih secara acak campaign dan project yang ingin dianalisis. Pemilihan secara acak ini dapat meminimalkan manipulasi laporan, terutama karena laporan yang manipulatif biasanya didasarkan pada “template” yang sama dan digunakan oleh oknum staf berulang kali (ke banyak klien). Jika laporan yang diminta adalah sesuatu yang benar-benar baru, maka bisa dipastikan oknum staf tersebut tidak bisa menggunakan “template” yang ada.

Terakhir, perusahaan periklanan perlu mengantisipasi load pekerjaan dari para stafnya. Klien bisa mendorong hal ini dengan meminta informasi load pekerjaan dari tim atau staf yang menangani project-nya. Perlu disepakati hitungan load pekerjaan yang masih “sehat” bagi sebuah tim atau seorang staf. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap campaign dan project mendapat perhatian dan komitmen penuh dari mereka yang menanganinya.

Jika ketiga langkah antisipasi tersebut dilakukan dengan pas, setidaknya risiko yang ada bisa diminimalkan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran pahit yang memotivasi pelaku periklanan digital di Tanah Air untuk terus memperbaiki industri ini bersama-sama.

MM102016/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.