Palsu, Sisa dan Bekas

www.marketing.co.id – Di negara berkembang seperti Indonesia, melemahnya daya beli masyarakat mendorong tumbuh suburnya produk palsu, produk sisa dan produk bekas. Bagi sebagian konsumen, mengubah gaya hidup tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurunnya daya beli bukan berarti mereka harus menghilangkan kebiasaan memakai baju trendi, pergi ke kantor naik mobil atau membeli produk-produk bermerek lainnya. Nah, ketiga jenis produk di atas bisa memecahkan masalah konsumen semacam ini.

Produk palsu adalah produk yang mirip aslinya, tetapi dibuat oleh produsen berbeda. Mereka meniru bentuk, komposisi, dan konten dari sebuah produk. Pada beberapa kasus, ada produk yang tidak mau dikatakan palsu, namun mereka bisa menggantikan produk aslinya. Di otomotif ada istilah “non-genuine”, yakni spare part yang bukan merek asli dari si produsen otomotif. Di industri printer, ada tinta refill untuk mengisi ulang tinta deskjet atau laserjet. Beberapa produk juga memakai strategi kamuflase dengan memakai merek-merek yang ”bunyinya” hampir sama dengan aslinya seperti Suny, Rebok, Pollo, dan lain-lain. Beberapa bahkan benar-benar memakai merek yang sama.

Jenis produk lain adalah produk sisa (scrap), biasanya hasil dari produksi pabrik yang tidak memenuhi standar kualitas tertentu. Produk sisa bisa berupa output produksi yang mengalami cacat. Jika sebuah pabrik mampu memproduksi 500.000 unit seminggu dan dia memiliki production error standard sebesar 0,2%, maka ada sekitar 1.000 unit yang cacat. Ada juga produk-produk yang tadinya mau diekspor, tetapi karena tidak bisa melewati standar kualitas di sebuah negara, akhirnya sebagian produk tersebut dikembalikan. Seringkali standar kualitas negara lain memang keterlaluan (kalau diukur dari sisi kualitas kita). Misalnya pada produk kemeja. Jahitan yang kurang rapi, masih ada benang yang menjulur atau lengannya tidak sama beberapa milimeter saja bisa membuat produk tersebut tidak diterima. Produk-produk seperti ini kemudian menjadi ”makanan” konsumen di Indonesia.

Jenis produk ketiga adalah produk bekas. Produk ini merupakan produk yang sudah tidak dipergunakan oleh orang lain, namun masih dapat difungsikan. Mobil bekas dan handphone bekas contohnya. Dengan sedikit perbaikan dan proses pemolesan, produk bekas terlihat seperti baru dan bisa meningkatkan harga jualnya.

Sebagian masyarakat Indonesia tidak malu mengkonsumsi produk-produk tersebut, asalkan mereknya tergolong merek trendi. Jarang sekali orang bisa mengenali bahwa baju yang dipakai si A itu baju sisa ekspor. Atau, siapa yang menyangka bahwa mobil yang dipakai si B itu dulunya dibeli dari orang lain, bukan mobil baru. Siapa yang bisa mengenali bahwa spare part di mobil tersebut adalah spare part yang non-genuine? Bahkan kini para pemalsu produk pun sudah demikian canggih sehingga sulit dikenali. DVD bajakan kini sudah dikemas dengan cover yang sangat baik kualitas cetaknya sehingga orang tidak bisa membedakan mana yang asli dan bukan. Tayangannya pun bersih seperti DVD asli.

Jadi yang dihadapi para pemilik merek di Indonesia sebenarnya bukan hanya kompetitor sejenis, tetapi juga produk palsu, produk sisa dan produk bekas. Produsen dan peritel garmen kini begitu cemas menghadapi menjamurnya factory outlet (FO) yang menjual produk-produk bermerek luar negeri dengan harga murah.

Hebatnya, para pemasar produk palsu, sisa dan bekas ini juga sudah semakin mengerti pemasaran. Mereka membungkus konten dari produk sisa dan bekas dengan packaging yang menarik, pelayanan yang prima atau brand experience yang unik. Di Bandung, banyak FO hadir dengan nuansa experince yang menarik. Di Rumah Mode misalnya, mereka menjual pakaian sisa ekspor dengan sentuhan-sentuhan taman yang eksotik, tempat makan dan tempat bermain anak-anak. Suasana yang dibangun membuat pengunjung bukan hanya membeli, tetapi juga mengajak orang lain untuk datang ke tempat tersebut pada kesempatan lain. Demikian pula dengan BABE (Barang Bekas).  Toko yang juga terletak di Bandung ini menjual berbagai barang bekas. Memang, jika  membayangkan barang bekas, kita akan berpikir tentang pasar loak. Tetapi di toko BABE lain, pengunjung disambut dengan senyuman dan sapaan mulai dari satpam sampai penjaga pintu. Ruangannya tertata rapi dan memakai ornamen-ornamen yang menyejukkan.

Jadi, mereka yang mau membeli produk palsu, produk sisa atau produk bekas, tidak akan berhadapan dengan timbunan barang obralan, di mana pengunjung mengaduk-aduk sendiri barangnya. Semakin lama para penjual semakin customer oriented. Mereka mengerti bahwa krisis ekonomi membuat konsumen semakin sensitif terhadap harga, tetapi juga kritis terhadap kualitas produk dan layanan. Sekalipun kualitas produk sisa dan bekas hanya tersisa sebesar 70-90%, sementara produk palsu mungkin hanya 50%, tetapi mereka sudah bisa membungkusnya dengan pelayanan yang prima dan memorable experience. Konsumen semacam ini masih mentolerir turunnya kualitas produk, tetapi mereka tidak bisa mentolerir turunnya image mereka gara-gara memakai merek yang tidak trendi atau berbelanja di tempat ”penimbunan barang”! (Rahmat Susanta)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.