Mempertahankan dan Meningkatkan Market Share Saat dan Pascapandemi

Marketing.co.id – Pandemi sebenarnya bisa menjadi ajang pembuktian bagi ketangguhan sebuah merek. Sejauh mana merek mampu beradaptasi dan berinovasi di masa krisis yang diakibatkan oleh pandemi, dan pilihan strategi apa saja yang bisa diambil, khususnya dalam meningkatkan market share?

strategi meningkatkan market share

Mempertahankan atau bahkan meningkatkan market share (pangsa pasar) sangat penting. Terlebih bagi merek yang sudah berada di level atas suatu kategori industri. Alasannya, kompetitor tidak akan tinggal diam. Para kompetitor ingin juga menggantikan posisi merek yang market share-nya lebih besar. Bahkan, bila perlu melewatinya dan menjadi penguasa pasar (market leader).

Karena itu, mempertahankan market share harus dilakukan di segala kondisi, baik dalam situasi normal maupun ketika sedang krisis. Seperti kita ketahui bersama, saat ini ekonomi sedang mengalami krisis karena pandemi Covid-19. Hampir semua sektor industri mengalami penurunan, kecuali sektor kesehatan dan digital.

Baca juga: Strategi Merek Tetap Top Saat dan Pascapandemi

Suatu merek jika ingin mempertahankan atau bahkan meningkatkan market share bisa belajar dari pergerakan angka Top Brand Index (TBI) beberapa merek di beberapa industri. TBI yang menjadi patokan pemberian Top Brand Award mengacu pada tiga dimensi, yakni mind share, market share, dan commitment share.

“Pengukuran ketiga dimensi di atas sangat sederhana, tapi menjadi kekuatan Top Brand, sehingga indeksnya sangat valid, reliable, dan dari waktu ke waktu hasil tracking-nya bisa dipantau,” tutur Handi Irawan D, penggagas Top Brand Award, dalam Zoominar Series-2 bertema “Top Brand Strategy: Maintaining & Increasing Marketshare During & Post Covid 19 Pandemic”.

Handi mengatakan, market share menjadi faktor pembeda suatu merek dari merek lain. Suatu merek bisa lebih kuat dibanding kompetitor karena market share-nya lebih tinggi. “Market share membuat merek semakin kuat. Di sisi lain, market share yang semakin menurun, walaupun mind share (top of mind) masih kuat, lama-lama akan declining,” ujar Handi dalam Zoominar khusus untuk para peraih Top Brand Award tersebut.

Handi memberi contoh di kategori Mie Instan. Di kategori ini, Indomie milik Indofood menunjukkan keperkasaannya sejak tahun 2002, karena didukung oleh distribusi yang merata dan kekuatan sales force-nya. Periode 2006–2007, TBI Indomie sempat menurun di kisaran 66%–68%. Namun setelah itu, mi instan ini kembali perkasa dengan TBI di kisaran 70%–80%. “Saya yakin dalam 10 tahun ke depan Indomie masih sulit dikejar merek lain, karena market share kuat. Market share-nya mungkin saja menurun, tapi sulit disalip lawan,” imbuh dia.

Sayangnya kedigdayaan Indomie tidak diikuti merek Indofood lainnya yaitu Bimoli, di kategori Minyak Goreng. Di kategori ini, jelas Handi, Bimoli bersaing dengan Sania dan Filma. Ketiganya disokong bujet komunikasi pemasaran yang relatif berimbang. Meski Bimoli masih unggul, presentasi TBI-nya terus menurun sejak tahun 2008. Sebaliknya, Sania menunjukkan tren TBI meningkat. Tahun 2020 TBI Sania ada di angka 11,1%; padahal di tahun 2002 silam TBI-nya baru 2,0%.

“Dugaan saya, kalau tidak melakukan apa-apa, dalam beberapa tahun TBI Bimoli akan menurun. Karena market share Bimoli sebenarnya sudah lebih rendah dibandingkan TBI-nya, walaupun penurunannya peralahan-lahan,” terang dia.

Lain lagi cerita Tessa, yang angka TBI akhirnya disalip Paseo sejak tahun 2014. Padahal periode 2007 sampai 2013, TBI Paseo masih di bawah Tessa. Sampai saat ini Tesa sulit untuk mengejar lagi Paseo, karena gap TBI-nya semakin lebar. “Distribusi Tessa relatif kedodoran, sehingga ditinggalkan Paseo,” tandas Handi.

Untuk beberapa kategori, mempertahankan dan meningkatkan market share memang harus ditunjang oleh sebaran distribusi yang kuat. Contohnya di kategori Obat Maag, karena penyakit maag bisa kambuh sewaktu-waktu. Selain itu, pembeliannya juga biasanya bersifat impulsif dan konsumen akan membeli di toko atau warung terdekat. Akibatnya, sampai saat ini Promag yang ditunjang jalur distribusi luas dan merata masih sulit digoyang oleh Mylanta dan Polysilane.

BCA secara aset memang masih di bawah BRI dan Bank Mandiri. Namun, BCA dengan Tahapan BCA-nya memiliki TBI tertinggi di kategori Tabungan, mengalahkan BRI BritAma, BRI Simpedes, BNI Taplus, dan Tabungan Mandiri. Keunggulan Tahapan BCA karena ditopang oleh sebaran ATM dan layanan mobile banking.

“Sehingga brand equity BCA sangat kuat, karena pangsa pasar transaksinya sangat besar sekali. Kekuatan transaksi di ATM dan mobile banking membuat BCA sulit dikalahkan di kategori Ritel Banking dalam 20 tahun terakhir,” tuturnya.

Kategori Shampoo masih menjadi “wilayah kekuasaan” dua pemain global, yakni Unilever dan P&G. Unilever melalui merek-merek Clear, Sunsilk, dan Lifebuoy; sementara P&G dengan merek Dove dan Pantene, masih sangat perkasa. “Penguasaan pangsa pasar mereka terlalu besar, tidak menyisakan ruang bagi merek-merek kecil, sehingga tidak ada TBI yang mencuat di luar merek-merek keluaran Unilever dan P&G,” ungkap Handi.

TBI, strategi meningkatkan market share

Empat Strategi

Jika dalam kondisi normal merek bisa disalip kompetitor, bukan tidak mungkin di saat krisis merek juga bisa terjungkal. Pertimbangannya, dalam kondisi krisis biasanya ada merek yang mengendurkan aktivitas marketingnya, karena permintaan sedang menurun. Namun di sisi lain, kompetitor justru berpikir sebaliknya.

Mereka percaya selalu ada peluang di balik krisis, karena itu mereka tetap aktif melakukan kegiatan marketing. Contohnya dalam suasana pandemi, ada peluang untuk memasukkan atau menambah fitur kesehatan pada suatu produk, atau bahkan masuk ke produk-produk kesehatan.

strategi meningkatkan market share di masa pandemi
Narasumber: Handi Irawan D, pengagas Top Brand Award.

Mereka juga tetap gencar beriklan setelah melihat merek lain tidak beriklan atau mengendurkan intensitas iklan. Tentu peluang untuk meningkatkan awareness dan share of voice menjadi rendah. Ibaratnya, jika Anda berteriak di dalam stadion yang sepi, suaranya berpeluang lebih besar untuk didengar ketimbang berteriak saat stadion sedang ramai.

Karena itu, bukan tidak mungkin dalam kondisi krisis suatu merek mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan market share. Handi mengatakan, ada 4 strategi untuk mencapai 2 hal itu, yakni retargeting, focus on retention, shifting product portfolio, dan shifting to digital supply chain.

Retargeting merupakan strategi yang paling sederhana, tapi sering dilupakan. Saat terjadi krisis atau perubahan lanskap pasar, strategi ini seharusnya menjadi pilihan nomor satu. Contoh retargeting dari B2B ke B2C atau sebaliknya. Perusahaan yang tadinya fokus ke B2B kesulitan memasok produk ke peritel, karena adanya PSBB, karatina wilayah, atau penutupan akses ke kota.

“Kalau kita terpaku saja, pangsa pasar kita akan tergerogoti. Karena itu, bisa disiasati dengan strategi B2C dengan menjual langsung ke konsumen akhir (end users),” kata Handi. Ia memberi contoh, banyak perusahaan yang melakukan strategi ini dengan memanfaatkan e-commerce sebagai kanal penjualan langsung ke end users.

Ada juga retargeting sebaliknya, yakni dari B2C ke B2B. Hal ini dilakukan oleh perusahaan yang memproduksi hand sanitizer, masker, atau alat-alat kesehatan. “Banyak yang beralih ke B2B karena besarnya belanja pemerintah untuk produk-produk tersebut di masa pandemi. Bujet pemerintah untuk mengatasi pandemi sangat besar, mencapai ratusan triliun,” jelasnya lagi.

Retargeting juga mengacu pada wilayah, yakni dari urban ke rural atau sebaliknya. Selama tiga tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi di desa sebenarnya lebih baik daripada di kota. Di sisi lain, PSBB membuat banyak orang tidak bisa pergi ke kota. Ini menjadi peluang bagi produk-produk berharga murah untuk masuk ke pasar rural. Pola sebaliknya dapat dilihat pada komoditi buah dan sayuran segar; yang tadinya fokus menjual di pedesaan beralih ke perkotaan dengan bantuan platform e-commerce.

PSSB dan WfH membuat banyak orang menghabiskan waktu di rumah, sehingga penjualan produk kosmetik premium menurun. Produsen bisa mengubah target market ke segmen mass cosmetic, yang harganya lebih murah dan cocok digunakan di rumah. Retargeting juga bisa dari segmen senior ke milenial, misalnya produk terkait aktivitas masak (home cooking). Banyak anak muda karena terlalu lama di rumah akhirnya mencoba untuk memasak. Atau sebaliknya, banyak segmen senior yang membeli produk secara online atau membeli peralatan fitness untuk menjaga kebugaran di rumah.

Focus on retention antara lain bisa diterapkan dengan melakukan cross selling ke pelanggan lama. Dalam kondisi pandemi, sering kali biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru lebih mahal. Kalaupun berhasil menggaet pelanggan baru, nilai pembelian biasanya lebih kecil daripada pelanggan lama.

Karena itu, pandemi merupakan momentum yang tepat untuk cross selling. Contohnya perusahaan asuransi bisa menawarkan jenis asuransi lain kepada pelanggan lama dan bank menawarkan nasabahnya untuk mencoba fitur m-banking atau internet banking. Focus on retention juga bisa dilakukan dengan menambah item penjualan produk lain (add on selling) atau menambah customer lifetime value (CLV).

Baca juga: Top Brand Award, Survei Merek Terpanjang di Dunia

Namun, focus on retention bisa dilakukan dengan mudah jika perusahaan sudah memiliki program membership dan manajemen database yang baik. “Kalau sudah terbiasa berkomunikasi dengan para pelanggan dan menggunakan omnichannel, akan mempermudah melakukan cross selling,” jelas Handi.

Harus diakui strategi shifting product portfolio relatif tidak mudah dilakukan. Adapun pilihan strategi yang bisa ditempuh di masa dan pascapandemi yakni product extension. Misalnya menambahkan elemen atau fitur kesehatan pada suatu produk. Meskipun sudah bisa ditanggulangi kelak, masyarakat diperkirakan akan tetap memerhatikan aspek kesehatan dan kebersihan karena sudah terbiasa selama pandemi.

Ada lagi strategi brand extension dengan cara membuat produk baru menggunakan merek lama. Langkah ini diambil karena butuh waktu dan upaya yang besar untuk membangun merek baru. Namun, cara ini hanya bisa dilakukan oleh merek yang sudah top. “Merek yang sama bisa digunakan di kategori baru karena demand sedang naik. Contohnya hotel yang industrinya krisis luar biasa karena pandemi, mungkin sampai tahun depan masih krisis, bisa menawarkan menu untuk katering atau makanan,” terangnya.

Tak kalah penting yaitu strategi shifting to digital supply chain, mulai dari logistic, ordering system, dan distribution. Tidak cukup perusahaan membuat official store di e-commerce. Buka official store mudah, yang sulit mendatangkan trafik karena ada ribuan merek melakukan hal yang sama.

“Kalau mendatangkan trafik saja sulit, bagaimana mendatangkan penjualan?  Mungkin penjualan hanya 1%–2% dari total penjualan, penyebabnya mungkin saja kita telat masuk digital. Selama ini digitalisasi di supply chain memang terlambat, tapi dengan adanya pandemi prosesnya menjadi lebih cepat. Karena itu, menjadi tantangan baru bagi industri consumer goods dan keagenan,” katanya.

Marketing.co.id | Portal Berita Marketing dan Berita Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.