Tren Modern Retail 2005 Diferensiasinya mesti jelas

Tahun depan ritel modern masih tetap tumbuh sekitar 10%. Mini market dan hipermarket bakal tumbuh pesat. Lantas bagaimana dengan supermarket?

Bisakah Jakarta sekarang dinamakan “kota belanja”? Soalnya, hampir di setiap pelosok ibukota kini ada modern retail. Mulai dari mini market dan yang menjamur di jalan-jalan kecil daerah pemukiman, sampai mal dan trade center di jalan-jalan besar yang terus bermunculan. Nama-nama berbagai mini market, supermarket, hipermarket, mall, plaza, dan square pun makin terasa akrab di telinga konsumen Jakarta.

Bagaimana dengan di daerah? Daerah pun sekarang menggeliat. Dalam kurun  2005-2006 nanti di Medan, Batam, Palembang, dan Yogya akan membuka sejumlah mal. Hal ini paling tidak menunjukkan gairah industri ritel di Tanah Air.

Menurut Sugiyanto Wibawa, staf ahli Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), bisnis ritel tahun ini secara keseluruhan –terutama yang di ritel modern– sangat bagus. Pasar modern ini berkembang baik dari sisi demand, sementara supply-nya sendiri juga tumbuh cepat. Pertumbuhannya di atas 10%, meningkat dibanding tahun lalu yang hanya sekitar 8%. “Marketnya memang lagi bagus-bagusnya di modern retail. Makin banyak konsumen yang sudah terbiasa dan makin suka dengan modern retail,” tutur Vice President Director BreadTalk ini.

Yang jelas, pertumbuhan ini dibarengi pula dengan persaingan yang kian ketat. Cuma lantaran pertumbuhan pasarnya lebih cepat, maka masing-masing pemain tetap tumbuh. Di hipermarket misalnya, walaupun Carrefour dan Giant merambah cepat, tapi pasarnya besar sekali. Permintaannya masih lebih besar daripada penawaran yang ada sekarang. “Mungkin di beberapa tempat, supermarket yang kurang bagus manajemennya, memang turun. Overlapping. Tapi secara total keseluruhan, tumbuh. Jadi enggak ada masalah. Hipermarket tumbuh, mini market juga. Bahkan tahun depan beberapa mini market mau tambah 500 gerai,” urai Sugiyanto.

Harus cerdik

Namun ada satu fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa pusat perbelanjaan berdiri dengan lokasi yang tak jauh –bahkan kadang berdampingan– dengan pusat perbelanjaan yang sudah ada sebelumnya. Daerah Mangga Dua dan Kelapa Gading misalnya, bertaburan dengan mal dan trade center, jumlah kiosnya pun bisa mencapai puluhan ribu. Tak heran bila Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APPBI) DKI Jakarta mengatakan bahwa pembangunan trade center di kedua kawasan tersebut sudah mengakibatkan kelebihan pasok (over supply). Penyebabnya, hal itu tidak dibarengi dengan peningkatan permintaan. Akibatnya, selama dua tahun terakhir, tingkat hunian pusat perbelanjaan di Jabotabek cenderung menurun.

Maraknya pembangunan berbagai trade center ini mungkin lantaran sejak krisis tahun 1998, para pengembang yang menahan diri dan sekarang buka berbarengan. Tapi yang kurang diperhitungkan di sini adalah infrastruktur kita belum membaik, jalan-jalan masih dihantui kemacetan. Belum lagi, tambah Sugiyanto, barang-barang yang dijual di sana bukanlah kebutuhan sehari-hari. Sementara orang beli baju atau sepatu tidak tiap hari atau tiap minggu.  “Sekarang, orang mau beli sepatu kemana sih? Satu tempat saja cukup dong. Ke Plaza Senayan, misalnya. Selesai. Jadi enggak perlu buka lima-limanya kan?” katanya.

Pasar yang seperti ini memang over supply. Perkembangan ruang ritel pesat sekali. Contohnya di Mangga Dua Square yang sangat luas dan bisa menampung ribuan kios. Padahal, kios di wilayah itu sudah banyak. Pertanyaannya, apakah toko yang sama mau buka lagi, lalu apa penjualannya bisa naik dua kali? Jelas belum tentu, karena lokasinya sama.

Fenomena inilah yang harus dicermati oleh para pemain ritel supaya mereka tidak salah investasi atau salah buka toko. Para pemain ritel sendiri kini tampak agak berhati-hati untuk membuka toko di mal-mal yang baru karena belum tentu menguntungkan. Namun, meskipun beberapa ritel tidak bisa, lanjut Sugiyanto, beberapa jenis ritel masih memungkinkan. Misalnya industri restoran seperti McDonald’s atau KFC, orang bisa makan siang di situ. Jadi peluang masih terbuka. Supermarket pun masih punya peluang kalau di mal itu ada apartemennya. Sebab orang belanja karena berdekatan dengan rumah. Itu adalah captive market apartemen.

Oleh karena itu, dalam pandangan Sugiyanto, ada dua hal yang perlu diperhatikan para pemain ritel. Pertama, apakah mal atau pusat perbelanjaan yang lama ini akan “termakan” oleh yang baru, dan apakah kita juga perlu buka bila pesaing ritel yang lain akan buka? Jawabannya ya, kalau memang di situ ada market yang berbeda. Tapi jangan, kalau marketnya sama.

Kedua, para “landlord” properti harus cerdik dalam merumuskan konsep yang berbeda. Harus jelas positioning dan diferensiasinya. Misalnya, mal ini untuk apa? Kalau sama-sama di Kelapa Gading, apa keistimewaannya dan perbedaannya. “Mereka bisa melakukan diferensiasi seperti Electronic City atau Auto Mall. Dengan kata lain ada specialty, ada tematiknya,” saran Sugiyanto, yang pernah menjabat sebagai Executive Director Super Indo.

Optimis

Menyinggung soal prospek ritel tahun 2005, Sugiyanto optimis tetap tumbuh minimal 10%. Yang paling penting ritel selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Bila ekonominya tumbuh, biasanya ritel juga tumbuh. Daya beli masyarakat yang menguat, menuntut mereka spending untuk belanja. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah baru akan membangun berbagai infrastruktur baru seperti monorel dan lain sebagainya. Hal ini penting bagi pemain ritel, supaya aksesibilitasnya lebih mudah.

Di lain pihak, Sugiyanto melihat tantangan ke depan yang bakal ditemui retailer masih seputar soal ruwetnya perpajakan dan peraturan. Contohnya, salon di beberapa daerah terkena pajak hiburan (masuk ke Pemda), padahal tidak jelas unsur hiburannya di mana. Atau kalau mau buka supermarket, ada lebih dari 10 peraturan yang “menghadang”. Dalam hal ini, ia berharap semua itu bisa disederhanakan dan dinasionalisasi.

Sementara itu, kenaikan harga BBM akan berdampak pada biaya. Biaya distribusi dan service charge dari mal pasti naik. Mau tak mau, semua naik harga. Peningkatannya bisa mencapai 3-5%, tergantung berapa persen pemerintah menaikkan harga BBM. Ritel sendiri selalu ikut bila harga dari supplier naik, karena modalnya juga naik. Jelas ada kekhawatiran akan daya beli masyarakat. Pasti ada pengaruhnya. Soalnya, gaji belum tentu ikut naik. “Cuma, selama ini kita juga sudah berpengalaman sejak krisis tahun 1998, jadi dihadapi saja. Makanya kita harapkan pemerintahan yang lebih baik. Yang paling penting tahan inflasi dan bunga bank. Tapi mestinya jauh lebih baik. Saya dan para retailer tetap optimis,” tandasnya.

Restoran dan mini market

Bicara ritel secara keseluruhan, menurut Sugiyanto, produk yang jadi tren adalah restoran. Sebab semua orang butuh dan itu merupakan investasi yang paling mudah. Restoran-restoran baru bakal bermunculan dengan konsep baru. Banyak makanan Jepang yang siap saji hadir di Indonesia. Tren lainnya adalah beberapa produk branded akan masuk, misalnya pakaian merek Manggo, Sarah, dan beberapa merek baru dari Singapura.

Sedangkan jenis ritel yang paling cepat tumbuh adalah mini market. Persaingan bakal tambah seru. Karena Alfa menargetkan tahun depan jumlahnya di atas 1.500 gerai, sekarang baru 950-an. Sementara Indomaret, yang jumlah gerainya akhir tahun ini 1.000 buah, tahun depan juga memancang target 1.500 gerai (naik 50%).

Di pihak lain, jumlah hipermarket juga bakal tumbuh pesat. Lantas, apakah supermarket nantinya akan terhimpit oleh hipermarket? Menurut Sugiyanto, hanya beberapa yang lokasinya dekat dengan hipermarket. Ia mencontohkan di Bumi Serpong Damai, dulu ada Hero sekarang jadi Giant. Ada juga Superindo, sekarang sudah Giant Hypermarket. Ada Hypermart, terus nanti ada Carrefour. Jadi, agar supermarket yang berlokasi di sana akan tergencet kayak pelanduk di antara gajah, mereka harus relokasi ke daerah yang lebih dekat dengan perumahan.

Namun, tidak semua titik lokasi bisa dibangun hipermaket karena harus ada akses jalan besar. Supermarket tidak harus begitu. Lain lagi dengan minimarket, di gang-gang juga bisa. Semua ada jenjangnya. Cuma supermarket dulu yang ada di jalan besar, bakalan kena. Yang ada di mal-mal juga, kecuali mal itu ada apartemennya. Sebenarnya, lokasi ideal supermarket harusnya di perumahan. Jadi harus kembali ke alamnya. Sugiyanto menambahkan, “Tingkah laku konsumen pun berubah. Orang menyukai mal atau hipermarket yang one stop shopping. Begitu masuk, semuanya ada. Tren pasti akan berkembang ke sana.” (David S Simatupang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.